Reporter: Aloysius Brama | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Andira Agro Tbk (ANDI) mengubah haluan bisnisnya pada tahun ini. Pasca berhasil meraih dana segar sebesar Rp 100 miliar melalui penawaran perdana pada 2018 lalu, ANDI memutuskan untuk menggunakan dana tersebut sebagai modal kerja tahun 2019. Padahal rencananya, dana itu akan digunakan ANDI untuk membangun pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) di Banyuasin, Sumatra Barat senilai Rp 135 miliar.
Direktur Utama PT Andira Agro Tbk (ANDI) Francis Indarto menyebutkan hal tersebut tak bisa dilepaskan dari prospek crude palm oil (CPO) yang masih digelayuti awan mendung. Hal itu tampak dari rerata harga penjualan CPO ANDI yang terus menurun.
Francis menyebutkan pada tahun 2017 lalu ANDI masih bisa menjual CPO dengan harga Rp 7.200 per kilogram dan menjual kernel atau inti kelapa sawit sebesar Rp 6.150 per kilogram. Rerata harga jual itu turun di tahun 2018.
Untuk segmen CPO, rerata harga jual ANDI sebesar Rp 6.170 per kilogram. Sedangkan untuk kernel senilai Rp 4.500 per kilogram. “Per Mei 2019 lalu, harga jual CPO kami Rp 5.800 per kilogram dan kernel senilai Rp 3.800 per kilogram,” keluh Francis dalam paparan publik PT Andira Agro Tbk (ANDI) yang diselenggarakan di Jakarta, Kamis (27/6).
Ketika ditanya mengenai prospek rerata harga CPO perusahaannya hingga akhir tahun, Francis mengaku belum bisa memprediksinya.
Francis mengatakan, setiap perusahaan CPO cenderung akan menuai produktivitas yang lebih tinggi di paruh kedua setiap tahunnya. Namun Francis pesimistis bahwa harga jual rerata ANDI bisa naik pada periode mendatang.
“Di semester I dengan produktivitas yang tidak seberapa saja harganya sudah turun. Nah apalagi nanti ketika produktivitas kami tinggi tapi permintaan akan sama seperti semester I,” ungkap Francis pesimistis.
Kondisi tersebut yang membuat ANDI menunda pembangunan pabrik baru. “Kalau kami paksakan bangun pabrik, tapi dari permintaan belum ada peningkatan, hanya akan menambah beban operasional kami,” ujar Francis.
Untuk itu pihaknya lebih memilih untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada. Hingga saat ini, ANDI masih memiliki satu buah pabrik pengolahan kelapa sawit dengan kapasitas pengolahan 40 ton per jam.
Opsi menambah lahan juga sedang dikaji meskipun kemungkinan untuk merealisasikannya menurut Francis sangat kecil.
Hingga saat ini ANDI masih mengelola sekitar 5.000 hektare lahan kelapa sawit di Sumatra Barat dengan usia tanaman 8 tahun-9 tahun.
Dari lahan tersebut, tahun lalu ANDI bisa memproduksi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit hingga 77.200 ton. Jumlah itu naik sekitar 15,2% dari produksi di tahun 2017 yang sebesar 67.000 ton.
“Tahun ini kami proyeksikan jumlahnya bisa meningkat 10% hingga 15% lebih tinggi dari produksi TBS tahun lalu seiring dengan usai tanaman yang juga semakin mature,” kata Francis.
Francis optimistis dengan optimalisasi sumber daya dan kondisi pasar yang masih fluktuatif, pihaknya bisa meraih pendapatan 30% lebih tinggi dari tahun lalu. 2018 lalu ANDI mencatatkan pendapatan sebesar Rp 300,27 miliar atau naik tipis sebesar 3,15% dibanding tahun 2017 yang sebesar Rp 291,10 miliar.
Sedangkan hingga kuartal I tahun ini, ANDI telah mencatatkan pendapatan sebesar Rp 70,98 miliar. Angka itu turun bila dibandingkan kuartal I tahun lalu dimana pendapatan ANDI sebesar Rp 72,43 miliar.
ANDI juga berhasil membalikkan kondisi keuangan dengan mencetak laba sebesar Rp 17,19 miliar. Jumlah itu berbalik 263,6% dibanding kondisi tahun 2017 dimana ANDI merugi hingga Rp 10,51 miliar.
Sedangkan untuk laba di kuartal I-2019 lebih baik secara year on year. Tahun lalu, ANDI hanya mencatatkan laba sebesar Rp 7,06 miliar. Sedangkan kuartal I-2019 ditutup ANDI dengan pendapatan sebesar Rp 10,51 miliar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News