Reporter: Amailia Putri Hasniawati | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Otoritas pasar modal tengah melakukan finalisasi aturan main transaksi gadai efek (repurchase agreement) atau yang lazim disebut repo. Aturan ini akan tertuang dalam Global Master Repurchase Agreement (GMRA).
Regulasi ini guna menertibkan praktik gadai efek, khususnya saham serta memberikan jaminan hukum bagi para investor. Terutama ketika terjadi sengketa. Maklum, saat ini siapapun bisa melakukan repo, termasuk lembaga keuangan yang tidak mempunyai izin, baik izin pengawas pasar modal, dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun Bank Indonesia (BI).
"Belum bisa saya sampaikan detil poinnya, yang jelas nantinya pihak yang melakukan repo memiliki standar aturan yang sama dimana pun," kata Nurhaida, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Senin (25/11).
Ia belum bisa memastikan kapan aturan tersebut akan mulai berlaku. Saat ini, transaksi repo sama sekali tidak diatur. Oleh karena itu OJK, BI, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang dan dan self regulatory organization (SRO) pasar modal tengah menyusun draf GMRA atau standar repo yang disesuaikan dengan hukum Indonesia.
Sebelumnya, otoritas pasar modal mengungkapkan, beberapa hal yang akan diatur dalam GMRA antara lain pihak-pihak yang boleh melakukan repo. Lalu, perbandingan dana pinjaman dengan pinjaman, batasan waktu antar pihak yang melakukan repo kembali (re-repo), dan masalah perpajakan.
Khusus untuk masalah pajak, tim perumus akan melakukan konsultasi dengan Direktorat Jenderal Pajak untuk menetapkan selisih keuntungan dari transaksi repo dianggap sebagai objek pajak sewa atau bunga.
Aturan standar repo ini bisa menjadi acuan bagi para pelaku repo, baik yang menggadaikan maupun yang menerima gadai jika terjadi dispute. Informasi saja, repo merupakan salah satu cara mencari pembiayaan di pasar dengan menggadaikan efek tertentu kepada pihak lain.
Pihak yang memperoleh pinjaman bekromitmen membeli kembali efek yang digadaikan itu pada waktu dan harga tertentu. Efek yang direpokan bisanya dalam bentuk saham maupun obligasi.
Seringkali terjadi repo dilakukan tidak hanya oleh dua pihak, tetapi oleh beberapa pihak secara berantai. Ketika jatuh tempo tiba, si pemilik efek tidak bisa memperoeh asetnya tersebut karena tidak ketahuan ada di mana efek yang bersangkutan.
Pasalnya, jika harga efek mengalami penurunan, maka penggadai harus melakukan top-up senilai selisih harga terakhir dengan harga awal. Jika terjadi repo berantai dan satu pihak tidak melakukan top-up, maka efek yang direpokan berpotensi gagal bayar alias default.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News