Reporter: Wahyu Satriani, Amailia Putri Hasniawati | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Beleid anyar soal aturan main reksadana penyertaan terbatas (RDPT) tampaknya masih butuh waktu lebih lama sebelum bisa diluncurkan. Bahkan, draf perubahan instrumen yang sudah dibuat sebelumnya, butuh perubahan-perubahan.
Hal ini diakui oleh Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Nurhaida. "Sedang dalam pembahasan. Nanti kalau sudah selesai akan di share ke publik," kata dia. Namun, dia tidak menjelaskan alasan otoritas masih butuh waktu untuk menyusun draf tersebut.
Ini ditengarai masih adanya pro dan kontra terkait RDPT portofolio efek. Pasalnya, dana yang diparkir di produk tersebut masih cukup banyak yaitu sekitar Rp 32 triliun. Nah, menurut informasi yang diperoleh KONTAN, mayoritas atau sekitar 80% dari dana tersebut milik institusi badan usaha milik negara (BUMN). Diantaranya, asuransi dan dana pensiun.
Salah satu manajer investasi (MI) yang masih memiliki RDPT portofolio efek adalah PT Bahana TCW Investment Management. Direktur Utama Bahana TCW Investment Management, Edward Lubis mengatakan, RDPT itu memiliki underlying asset di obligasi. Nilainya sekitar Rp 1 triliun.
Menurut Edward, tidak ada masalah pada RDPT efek yang mereka miliki. Pasalnya, harga obligasi akan kembali ke harga par ketika jatuh tempo. "Yang sulit disesuaikan itu jika efeknya saham," kata Edward. Sayangnya, dia enggan menyebutkan MI yang masih memiliki produk RDPT portfolio efek dengan underlying saham.
Asal tahu saja, aturan RDPT portofolio efek ini diterbitkan 2008. Ketika itu, harga efek saham dan obligasi merosot tajam. Nah, produk ini kemudian dimanfaatkan oleh asuransi dan dana pensiun untuk memoles laporan keuangan hasil investasinya.
Sebab, penghitungan nilai aktiva bersih (NAB) RDPT dalam portofolio efek tidak harus sesuai nilai pasar. Sehingga, nilai NAB tidak akan tergerus ketika harga efek yang bersangkutan turun. NAB bisa dihitung berdasarkan harga pembelian efek. Dengan demikian, laporan keuangan hasil investasi milik investor tetap kinclong.
Tiga opsi aturan
Tahun 2010, otoritas saat itu, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) kemudian mengeluarkan surat edaran yang dikirimkan kepada para MI. Surat edaran itu melarang penerbitan RDPT dengan aset dasar yang di luar sektor riil. Dengan surat edaran tersebut, MI hanya dapat melakukan pengelolaan RDPT portofolio efek tanpa melakukan top up dana.
Nah, dalam draf OJK yang dirilis pertengahan tahun ini secara jelas menyebutkan, RDPT hanya diperbolehkan berinvestasi pada efek yang tidak ditawarkan melalui penawaran umum alias harus ke sektor riil. Sedangkan, untuk MI yang telah mengelola RDPT portofolio efek wajib menyesuaikan dengan peraturan ini paling lambat tiga tahun sejak peraturan ini ditetapkan. Artinya, RDPT portofolio efek harus dibubarkan.
Semula, OJK menargetkan aturan ini bisa diterbitkan 2014. Namun, hingga kini masih terdapat pro dan kontra terkait aturan ini. Setidaknya ada tiga opsi yang menjadi pembahasan. Pertama, RDPT sektor riil tetap dibuat, sedangkan RDPT efek mengacu pada aturan lama. Opsi lain, draf aturan RDPT dirombak, kemudian untuk RDPT efek diberi tenggat waktu sebelum dibubarkan.
Sedangkan, opsi ketiga, aturan RDPT sektor riil dan RDPT efek dibuat aturan baru dengan ketentuan mark to market. Rudiyanto, Head of Operation & Business Development PT Panin Asset Management bilang, jika diperbolehkan jalankan saja dua jenis RDPT. "Tapi, kami akan mengikuti bagaimana nanti aturannya," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News