kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

AS larang impor CPO dari perusahaan Malaysia, ini prospek saham emiten perkebunan


Jumat, 02 Oktober 2020 / 07:00 WIB
AS larang impor CPO dari perusahaan Malaysia, ini prospek saham emiten perkebunan
ILUSTRASI. Perkebunan kelapa sawit


Reporter: Nur Qolbi | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan Amerika Serikat (AS) melarang impor crude palm oil (CPO) dan produk turunan dari salah satu produsen CPO terbesar dunia, FGV Holding Bhd Malaysia, diprediksi tidak akan banyak berpengaruh pada emiten perkebunan. 

Analis Philip Sekuritas Indonesia Michael Filbery pun menyebut, harga CPO global pun masih akan bergerak dinamis. Pasalnya, konsumsi CPO AS saat ini hanya 0,01% konsumsi CPO global. Indonesia, India, dan China masih menjadi negara dengan konsumsi produk minyak sawit terbesar dunia. 

Hal tersebut pun terlihat pada harga CPO global yang masih dalam tren penguatan. Mengutip Bloomberg, Kamis (1/10), harga CPO kontrak pengiriman Desember 2020 di Malaysia Derivative ditutup menguat 2,76% ke RM 2.789 per ton.

Baca Juga: Pemerintah AS larang impor produk CPO dan turunan dari FGV Holdings

"Sehingga pemblokiran impor CPO oleh AS hanya berdampak pada FGV Holding Bhd Malaysia beserta anak usahanya seiring akan berkurangnya volume penjualan CPO dan produk turunannya pada pangsa pasar AS," tutur Michael saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (1/10). 

Sementara itu, Analis Binaartha Sekuritas M. Nafan Aji Gusta Utama mengatakan, blokir impor CPO dari salah satu produsen asal Malaysia oleh AS ini dapat menjadi peluang Indonesia untuk memperbesar pasar ekspor ke Negeri Paman Sam. 

Terkait dengan saham-saham perkebunan, Michael memprediksi, prospek saham sektor ini masih cukup positif hingga akhir 2020. Ini didukung oleh harga CPO yang lebih tinggi dibandingkan tahun lalu akibat produksi dan stok CPO yang lebih rendah. 

"Alhasil, kondisi ini dapat mengimbangi penurunan ekspor CPO Indonesia dan Malaysia ke beberapa negara tujuan," jelas dia. 

Selain faktor tersebut, cuaca panas di AS juga masih berimplikasi pada penurunan produksi minyak kedelai yang menyebabkan tren peningkatan pada harga kedelai global. Hal ini menjadi peluang bagi pangsa produk CPO karena dapat menawarkan harga yang lebih menarik dan kompetitif dibandingkan minyak kedelai.

Selanjutnya, peningkatan permintaan minyak CPO di China dan India pada kuartal IV-2020 diprediksi akan cenderung meningkat karena adanya perayaan Diwali di India serta perkiraan adanya La Nina dalam waktu dekat. 

"Pemerintah Indonesia juga berpotensi memangkas target produksi B30 sehingga berpotensi menurunkan permintaan minyak yang berpengaruh pada membesarnya disparitas antara harga CPO dengan harga minyak mentah," kata dia.

Rekomendasi saham

Untuk saat ini, Michael pun memilih PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) dan PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) sebagai saham CPO pilihannya. 

Ia menyukai AALI karena profitabilitas perusahaan yang masih cukup baik di tengah adanya penurunan volume penjualan CPO. Mengingat, AALI berhasil mencatatkan peningkatan ASP sebesar 25,9% year on year (yoy) menjadi Rp 8.110/kg pada semester 1-2020.

Efisiensi operasional yang dilakukan AALI, anggota indeks Kompas100 ini, juga mampu mengimbangi penurunan produksi maupun volume penjualan. Alhasil, margin operasional pada semester 1-2020 meningkat menjadi 8,3%.

Baca Juga: Astra Agro Lestari (AALI) bagikan dividen interim Rp 42 per saham, berikut jadwalnya

Menurut Michael, penjualan AALI sepanjang semester 1-2020 sudah mencapai 47% dari estimasi penjualan tahun ini yang sebesar Rp 19,2 triliun. Dari sisi bottom line, laba bersih AALI sudah setara 53,8% dari estimasi laba bersih sepanjang 2020 yang sebesar Rp 760 miliar.

LSIP juga jadi pilihan karena memiliki kestabilan produksi dan extraction rate di tengah tantangan cuaca panas. Sama seperti AALI, kinerja LSIP selama tahun berjalan ini lebih banyak dikontribusikan oleh peningkatan harga CPO global yang berpengaruh pada ASP LSIP yang lebih tinggi.

Hal ini masih dapat mengimbangi penurunan volume produksi dan penjualan di semester 1-2020.  LSIP juga menerapkan efisiensi biaya produksi dan beban operasional sehingga mampu meningkatkan margin LSIP.

Michael merekomendasikan beli LSIP , anggota indeks Kompas100 ini, dengan target harga sebesar Rp 1.410 per saham dengan target EV/EBITDA sebesar 13,9 kali. Ia juga merekomendasikan beli AALI dengan target harga Rp 14.700, mengimplikasikan target EV/EBITDA AALI sebesar 14 kali di tahun ini.

Sementara Nafan merekomendasikan akumulasi beli LSIP pada area Rp 910 - Rp 955 dengan target harga Rp 1.225 per saham. Menurut dia, secara teknikal pergerakan harga LSIP masih bertahan di atas garis bawah dari bollinger dan terlihat pola long white closing marubozu candlestick pattern yang mengindikasikan adanya potensi stimulus beli.

Selanjutnya: Diduga alami kerja paksa, mayoritas pekerja FGV Holdings berasal dari Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×