Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. PT Aneka Tambang Tbk (Antam) tetap optimistis akan mampu memperbaiki kinerja keuangan, meski dihadapkan pada hambatan bertubi-tubi terutama dampak dari pelarangan ekspor bijih nikel sejak Januari 2014 lalu.
Pada 11 September lalu, PT Pefindo bahkan memangkas peringkat (rating) utang Antam dari AA+ menjadi A dengan outlook negatif. Pemangkasan ini merupakan antisipasi atas kemungkinan dampak negatif volatilitas harga komoditas terhadap kinerja keuangan Antam.
Kendati ratingnya dipangkas, Antam meyakini potensi untuk meraih perbaikan kinerja keuangan tetap ada. Emiten berkode saham ANTM ini menilai harga jual nikel akan terus naik sebagai imbas dari kebijakan pelarangan ekspor oleh pemerintah Indonesia pada 12 Januari lalu.
"Antam akan mencicipi berkah dari kenaikan harga nikel dunia tatkala Proyek Perluasan Pabrik Feronikel Pomalaa (P3FP) selesai," kata Tri Hartono, Sekretaris Perusahaan Antam dalam keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Australia, Jumat (12/9).
Proyek tersebut memang akan mendongkrak kapasitas produksi pabrik Pomalaa menjadi 27.000-30.000 ton nikel dalam feronikel (TNi), dari posisi sekarang yang masih 18.000-19.000 TNi.
Hingga akhir Agustus lalu, emiten berkode saham ANTM itu sudah menyelesaikan sekitar 66% dari total pekerjaan P3FP. Targetnya, P3FP akan mulai beroperasi secara komersial pada tahun depan.
Antam juga akan segera memulai operasi komersial proyek Chemical Grade Alumina (CGA) Tayan. Proyek ini merupakan pengolahan bauksit menjadi produk bahan kimia aluminium maupun alumina bagi industri.
Kapasitas total unit produksi yang menelan anggaran investasi hingga US$ 490 juta tersebut mencapai 300.000 ton per tahun. ANTM berencana mengekspor dua pertiga atau setara 200.000 ton produksi pabrik ini ke Jepang. Sementara sisanya akan dilepas ke pasar domestik.
Kehadiran dua unit produksi baru inilah yang diharapkan Antam untuk mendongkrak kinerja keuangannya. Di semester I 2014, kinerja keuangan Antam memang terus memburuk, dengan membukukan rugi bersih senilai Rp 638,68 miliar.
Padahal, pada periode sama tahun lalu, Antam masih mencetak laba bersih Rp 373,57 miliar. Harga komoditas yang dijual perusahaan di kuartal II tahun ini sebenarnya sudah mulai naik.
Namun, hal itu tidak dapat menolong kinerja keuangan di paruh pertama 2014 lantaran Antam tidak bisa mengekspor bijih nikel dan bauksit. Dua komoditas yang biasa menjadi andalan Antam itu termasuk yang terkena larangan untuk diekspor oleh pemerintah.
Hal ini memang terlihat jelas dari perolehan penjualan Antam di semester I 2014 yang "hanya" mencapai Rp 3,98 triliun. Jumlah itu turun 34,92% dibandingkan Januari-Juni tahun lalu yang tercatat Rp 6,13 triliun.
Buruknya kinerja Antam tersebut sudah diperkirakan sejak pemerintah mulai memberlakukan larangan ekspor mineral mentah. Manajemen Antam sebelumnya mengemukakan bahwa perusahaan kemungkinan bakal kehilangan potensi pendapatan senilai US$ 350 juta-US$ 400 juta yang biasanya diperoleh dari ekspor bijih nikel.
Kendati begitu, Antam optimistis bahwa kebijakan larangan ekspor itu, dalam jangka panjang, akan berdampak positif pada kenaikan harga komoditas sehingga akan berpengaruh positif pada kinerja keuangannya di masa mendatang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News