Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keputusan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menambah anggaran untuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan hingga Rp 48,8 triliun atau naik 82% dari sebelumnya Rp 26,7 triliun menjadi katalis positif bagi emiten rumah sakit.
Penambahan anggaran tersebut dilakukan pada semester II 2019 ini. Terkait hal itu, sejumlah analis hal ini dapat menjadi katalis positif bagi emiten rumah sakit. Kendati demikian, analis juga memberi catatan ada yang harus dicermati investor sebelum membeli saham-saham emiten rumah sakit.
Baca Juga: Mitra Keluarga (MIKA) revisi pertumbuhan pendapatan jadi 15% di 2019
Analis Artha Sekuritas Frederick Rasali menjelaskan emiten rumah sakit saat ini dengan adanya layanan BPJS akan bergantung pada volume dari pasien yang berobat. "Selain itu, juga dari kecepatan reimbursement BPJS," jelasnya kepada Kontan.co.id, Jumat (23/8).
Sedangkan menurut Frederick untuk PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk (MIKA, anggota indeks Kompas100 sendiri tentunya lebih mendapat kontribusi dari rumah sakit non-BPJS-nya yang dapat memberikan margin laba lebih tinggi daripada pasien rumah sakit BPJS.
Frederick mengatakan, peningkatan volume pasien tentunya yang mendorong pendapatan. Selain itu, melihat ekspansi rumah sakit dan klinik baru yang turut memberikan kontribusi penambahan jumlah inpatient dan outpatient.
Frederick menyatakan emiten rumah sakit seperti MIKA, PT Medialoka Hermina Tbk (HEAL) dan PT Siloam International Hospital Tbk (SILO) masih menarik karena ekspansi jumlah rumah sakit dan jumlah kasur untuk inpatient yang terus meningkat.
Sejalan dengan rumah sakit sekarang yang lebih bergantung pada volume daripada margin untuk pengembanganya.
Baca Juga: Duh, Perusahaan Farmasi Punya Piutang Ratusan Miliar ke BPJS Kesehatan
Frederick melihat industri ini masih cukup menantang karena penetrasi jumlah rumah sakit dan klinik kesehatan di Indonesia masih sangat minim sedangkan ada pembatasan margin dan cashflow dari BPJS yang dapat menghalangi kecepatan dari pertumbuhan bisnis.
Selain itu, menurut Frederick Indonesia masih kekurangan jumlah perawat untuk mendukung ekspansi tersebut.