Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berinvestasi tidak harus menunggu tua. Itulah yang menjadi prinsip Anderson Sumarli. Co-founder dan CEO Ajaib Group ini mulai berinvestasi sejak usia yang cukup belia.
Anderson berkisah pertama kali memulai berinvestasi saat berumur 9 tahun. Waktu itu, di surat kabar harian selalu memuat berita tentang harga saham harian. Hal ini kemudian memancing rasa penasaran Anderson.
Kala itu Anderson mengikuti pergerakan harga saham harian dan mulai memperhatikan ada salah satu saham yang harganya meningkat secara konsisten. Kemudian, Anderson meminta bantuan ayahnya untuk berinvestasi saham. “Dan dari saham tersebut saya dapat return yang besar. Jadi, saya memulai investasi pertama saya karena rasa penasaran,” terang Anderson kepada Kontan.co.id.
Meski demikian, perjalanan investasi Anderson tidak selalu mulus. Dia mengaku pernah mengalami kerugian hingga jutaan rupiah. Di sisi lain, dia juga pernah mendapatkan keuntungan hingga jutaan rupiah.
Baca Juga: Deja Vu, Kasus Asabri Mirip Jiwasraya
Untung dan rugi dalam berinvestasi merupakan hal yang lumrah. Yang terpenting adalah memahami mengapa seorang investor membuat keputusan investasi tertentu dan merasa nyaman dengan profil risikonya.
Pria kelahiran tahun 1994 ini mengaku banyak berinvestasi di saham-saham telekomunikasi selama empat bulan terakhir ini. Hal ini mengundang tanya dari kawan-kawan Anderson, mengapa dirinya justru menyimpan saham telekomunikasi seperti PT Indosat Tbk (ISAT) dan PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM). Padahal, dua saham tersebut harganya tidak naik, bahkan kadang menurun.
Jawabannya, saham telekomunikasi ini dinilai masih prospektif. Anderson meyakini bahwa industri telekomunikasi akan diuntungkan dari pengembangan jaringan 5G dan digitalisasi dalam waktu dekat. Saat ini, Anderson pun telah memetik buah manis dari prinsip fundamentalnya. Jika digabungkan, kedua saham telekomunikasi tersebut sudah menghasilkan return lebih dari 100%.
Adapun saat ini portofolio Anderson didominasi oleh instrumen saham. Dia memilih instrumen saham karena dengan berinvestasi saham, berarti seseorang telah berinvestasi di sebuah perusahaan yang nyata, yang memiliki rekam jejak (track record), atau sejarah perusahaan yang menarik.
“Setiap saham adalah entitas hidup yang memiliki strategi, keuangan, dan produknya sendiri,” sambung pria yang memperoleh gelar sarjana ekonomi dengan predikat summa cum laude di Cornell University, New York, Amerika Serikat ini. Saat ini 70% portofolio investasi Anderson berbentuk saham.
Baca Juga: Marak endorse saham, BEI diminta pelototi media sosial dan beri edukasi ke masyarakat