Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Cadangan batubara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dalam negeri yang semakin menipis membuat pemerintah melakukan intervensi.
Kementerian Energi dan Sumber Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) mengeluarkan kebijakan yang melarang perusahaan pertambangan batubara untuk melakukan kegiatan ekspor batubara. Larangan ekspor batubara ini berlaku mulai 1 hingga 31 Januari 2022.
Analis Trimegah Sekuritas Hasbie dan Willinoy Sitorus menilai, pemberlakuan larangan ekspor tidak akan bertahan lama. Trimegah meyakini, asosiasi produsen batubara akan melakukan segala kemungkinan untuk menyelesaikan masalah ini secepatnya.
Diantaranya, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) akan mengirimkan 500.000 ton batubara lagi untuk membantu Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Baca Juga: KSP Sebut Larangan Ekspor Batubara Upaya Hadapi Krisis Energi
Selain itu, Hasbie dan Willinoy menilai, pemerintah masih membutuhkan pendapatan yang signifikan dari sektor batubara. Sehingga, memperpanjang pelarangan ekspor merupakan kebijakan yang kurang pas.
Untuk mengatasi hal ini, Trimegah menyarankan pemerintah menindak tegas penambang batubara untuk mengikuti kebijakan domestic market obligation (DMO) yang lebih ketat. Sehingga, efek kejut dari larangan ekspor ini akan membuahkan hasil.
Lantas, siapa emiten yang paling terdampak atas kebijakan larangan ekspor ini?
Menurut Hasbie dan Willinoy, jika pemerintah tidak segera mengakhiri larangan ekspor batubara, PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) akan menjadi emiten yang paling terdampak. Ini karena eksposur (paparan) batubara ekspor ITMG menjadi yang terbesar diantara lainnya, yakni mencapai 75%.
Selain itu, mayoritas pengguna lokal batubara ITMG adalah pabrik pengolahan (smelter), bukan ke segmen pembangkit listrik.
Baca Juga: Begini Dampak Kebijakan Larangan Ekspor Batubara Bagi Indika Energy (INDY)
Di sisi lain, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dinilai menjadi emiten yang paling minim terdampak, dimana porsi ekspor PTBA hanya 45%. Hasbie dan Willinoy meyakini, PTBA dan PLN juga memiliki hubungan yang sangat baik, karena memiliki pengendali yang sama, yakni pemerintah.
Sementara itu, untuk menghindari hukuman, beberapa perusahaan telah menyatakan keadaan darurat (kahar). Sehingga secara umum, Trimegah Sekuritas meyakini situasi ini bersifat sementara.
“Tinggal menunggu waktu saja sampai pemerintah melakukan perubahan kebijakan,” tulis Hasbie dan Willinoy dalam riset, Kamis (6/1).
Hasbie dan Willinoy memperkirakan, harga batubara termal akan berada di bawah tekanan di bulan-bulan mendatang. Selain karena musim dingin yang telah usai, tingkat produksi batubara China juga sudah naik secara signifikan dalam beberapa pekan.
Trimegah Sekuritas mempertahankan peringkat netral untuk saham emiten tambang batubara termal. Namun, Trimegah Sekuritas menyematkan rekomendasi beli untuk saham emiten kontraktor tambang.
Baca Juga: Permintaan Jarum Suntik IRRA Berpotensi Terdorong Program Vaksin Booster
Sebab, meskipun harga batubara termal diproyeksi menurun tahun ini, emiten kontraktor tambang akan terus kecipratan keuntungan dari peningkatan volume dan harga jual rerata atau average selling price (ASP). Ini berarti, laba emiten kontraktor akan terus meningkat.
Di sektor tambang batubara, Trimegah Sekuritas merekomendasikan beli saham PT United Tractors Tbk (UNTR) dengan target harga Rp 30.000, serta merekomendasikan beli saham PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID) dengan target harga Rp 256.
Untuk saham PTBA dan ITMG, Trimegah menyematkan rating netral dengan target harga masing-masing Rp 2.800 dan Rp 21.500. Sementara untuk saham PT Adaro Minerals Tbk (ADMR), Trimegah Sekuritas merekomendasikan beli dengan target harga Rp 210.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News