Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saham-saham bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berguguran pada perdagangan Rabu (3/10). Keempat saham bank pelat merah kompak jeblok secara signifikan pada penutupan perdagangan.
Saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI, anggota indeks Kompas100) ditutup anjlok 5,43% ke level Rp 6.525, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI, anggota indeks Kompas100) jeblok 4,81%, PT Bank Rakyat Indonesia tbk (BBRI, anggota indeks Kompas100) melorot 3,44%, dan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN, anggota indeks Kompas100) terkoreski 2,78%.
Baca Juga: Bulan ini, Bank Bukopin bakal minta restu pemegang saham untuk rights issue
Menurut analis Kresna Sekuritas Franky Rivan, penyebab jebloknya saham-saham bank BUMN tersebut ada dua faktor. Pertama adalah adanya aksi jual di pasar global dan kedua lantaran memburuknya kualitas aset bank pelat merah. Namun bukan karena faktor pertumbuhan kredit yang masih terus melambat.
Dia bilang, jika terjadi market global sell off maka akan menimbulkan dampak signifikan terhadap penurunan saham-saham bank BUMN karena memiliki Beta yang lebih besar dibandingkan dengan bank swasta.
"Beta saham bank BUMN itu sekitar 1,5%-1,6%. Makanya saat terjadi sell off di global market, biasanya saham BUMN yang paling akan terkena. Sedangkan bank swasta Beta sahamnya kecil, seperti BBCA (anggota indeks Kompas100) misalnya hanya 0,9%," jelas Rivan pada Kontan.co.id, Rabu (2/10).
Sementara terkait kualitas aset, Rivan melihat semakin memburuk karena kemungkinan gagal bayar (default) dan fraud dari Duniatex. Bank-bank BUMN memiliki eksposure kredit yang cukup besar ke grup perusahaan tekstil itu.
Baca Juga: Ini syarat dari BI untuk lembaga yang ingin menjadi CCP
Prospek saham-saham bank BUMN ke depan menurut Franky akan sangat tergantung pada perbaikan kualitas aset dan perkembangan proses restrukturisasi kredit Duniatex. Saat ini, ia masih merekomendasikan hold untuk saham bank pelat merah dan hanya merekomendasikan buy untuk BBCA.
Sedangkan Kepala Riset Samuel Sekuritas Indonesia, Suria Dharma menilai anjloknya saham bank BUMN ini bukan akibat perlambatan pertumbuhan kredit maupun sentimen atas kasus Duniatex. "Ini bukan karena sentimen Duniatex juga karena kredit ke Duniatex baru jadi special mention loan (SML)," ujar Suria.
Baca Juga: DPK melandai, perbankan berbondong terbitkan surat utang
Adapun perlambatan pertumbuhan kredit merupakan isu secara industri bukan sektor. Seperti diketahui, kredit perbankan per Agustus hanya tumbuh 8,4% year on year (yoy) melambat dari pertumbuhan bulan-bulan sebelumnya.
Suria memandang harusnya pertumbuhan kredit Bank BUMN masih tetap bertahan. Bank-bank ini masih diuntungkan dari proyek-proyek infrastruktur yang jarang didanai oleh bank kecil. "Itu tercermin dari kredit bank pelat merah di paruh pertama tahun ini yang kebanyakan masih disalurkan ke sektor konstruksi, listrik dan tambang," katanya.
Jika Suria menilai penurunan bukan karena kedua faktor itu maka kemungkinan ada isu lain yang bikin saham-saham bank BUMN ini rontok. Perlu diketahui, Kementerian BUMN beberapa waktu mendorong semua bank-bank pelat merah turut bergotong royong membantu menyelesaikan permasalahan Jiwasraya.
Baru-baru ini sudah diumumkan bahwa BTN bersama dengan KAI, Telkomsel dan Pegadaian akan masuk jadi investor perusahaan asuransi itu.
Prospek bisnis bank-bank BUMN menurut Suria masih akan bagus ke depan apalagi ditambah dengan adanya penurunan suku bunga. Sahamnya juga diperkirakan masih akan bergerak positif ke depan mengingat sektor perbankan selalu mencatatkan performa lebih baik dari IHSG dalam tiga tahun terakhir.
Sementara Herry Sidharta, Wakil Direktur Utama BNI mengatakan, ada banyak faktor yang bisa jadi penyebab penurunan harga saham perseroan. Pertama, akibat perlambatan pertumbuhan kredit di industri.
Baca Juga: Serikat Pekerja KB Koomin Bank dan Bukopin melansungkan program social responsibility
Lalu kedua adalah dampak dari hasil riset terbaru Moody's yang menyebut meningkatnya risiko perbankan di kawasan Asia Pasifik seiring dengan melemahnya kemampuan pembayaran utang perusahaan akibat perlambatan ekonomi setelah meningkatnya tensi perang dagang China-US.
Dan ketiga, akibat pengaruh dari situasi politik yang masih belum stabil akibat maraknya demonstrasi akhir ini. "Secara umum, lebih banyak faktor eksternal yang pengaruhi persepsi investor, terutama investor luar negeri," jelas Herry.
Sedangkan pertumbuhan kredit bank BNI cukup bagus. Per Agustus, kreditnya tumbuh 19,7% yoy menjadi Rp 525,7 triliun. Dari perkembangan tersebut, BNI memprediksi kredit di triwulan III masih akan tumbuh dua digit, lebih tinggi dari pertumbuhan industri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News