kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Analis prediksikan kinerja emiten properti akan sulit pada sisa tahun ini


Minggu, 12 Mei 2019 / 16:07 WIB
Analis prediksikan kinerja emiten properti akan sulit pada sisa tahun ini


Reporter: Aloysius Brama | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Akhir semester I tinggal 1,5 bulan lagi. Biasanya pencapaian pada masa tersebut menjadi benchmark bagi kinerja perusahaan-perusahaan di sisa tahun berjalan, termasuk bagi perusahaan properti.

Meski begitu, sisa tahun 2019 diproyeksikan akan menjadi saat-saat yang berat bagi emiten-emiten properti. Setidaknya hal itu disampaikan oleh para analis saham yang selama ini mengamati kinerja sektor properti.

Analis MNC Sekuritas Muhammad Rudy misalnya mengatakan bahwa momen pemilihan umum lalu menjadi salah satu katalis negatif bagi emiten properti. Pemilu disebut membuat masyarakat cenderung berhati-hati, termasuk untuk membeli unit-unit properti. “Seperti pada umumnya menghindari ketidakpastian,” kata Rudy kepada Kontan.co.id, Jumat (10/5).

Sedangkan analis Artha Sekuritas Dennies Christoper mengatakan, momen Ramadan juga membuat masyarakat cenderung mengalirkan uangnya untuk membeli produk-produk konsumsi. “Dari segi saham, investor juga praktis akan lebih memilih sektor konsumsi dan ritel karena lebih jelas terdongkrak,” kata Dennies.

Di luar faktor tersebut, alih-alih optimistis, para analis tersebut juga ternyata cenderung ragu dengan kinerja emiten properti. Rudy misalnya mengatakan penjualan properti memang masih menantang. “Terutama dari sinyal yang diberikan Bank Indonesia (BI) terkait suku bunga. Rasa-rasanya masih minim sinyal untuk bisa turun,” jelas Rudy.

Hingga saat ini, BI masih menahan suku bunga di level 6% meski inflasi masih terhitung rendah yakni 0,44% per April 2019 lalu.

Selain itu Rudy juga menilai beberapa perusahaan properti cenderung masih mengandalkan produk di segmen menengah ke atas. “Hal ini membuat mereka kesulitan menjual produk-produknya karena uang masyarakat sepertinya belum banyak tersalur untuk hunian,” jelasnya. Pun sebagai investasi menurutnya peningkatan harga properti pun juga masih terbatas.

Dennies juga mengatakan bahwa suku bunga masih membuat para konsumen menahan diri untuk membeli produk-produk properti. “Bukan hanya bagi para calon pembeli namun investor saham juga cenderung menahan untuk membeli saham emiten sektor ini,” kata Dennies.

Menurut Dennies, kinerja properti dan sahamnya bisa terdongkrak bila ada penurunan suku bunga pada akhir tahun nanti.

Meski begitu Rudy memberikan sisi cerah bagi kinerja sektor properti. Regulasi penetapan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) dari 5% menjadi 1% bisa menjadi katalis positif bagi sektor ini. “Pelonggaran loan to value (LTV) yang dilakukan oleh BI pada tahun lalu juga harusnya bisa dimanfaatkan perusahaan untuk menggeber pendapatan,” kata Rudy.

Berbeda dengan Rudy, Dennies menilai kebijakan itu belum banyak dampaknya. Dennies menambahkan hal itu belum menghitung dampak persaingan antar pengembang. “Ini bisa menyebabkan sektor properti mengalami over supply ketika daya beli masyarakat belum meningkat. Terutama di daerah Jabodetabek yang selama ini menjadi pangsa besar bagi emiten properti,” kata Dennies.

Meski begitu, dari sisi saham, Dennies menilai tak ada salahnya para investor tetap mengoleksi saham emiten properti. Menurutnya pelemahan harga saham bisa dimanfaatkan bagi para investor. “Buy on weakness dan disimpan untuk jangka panjang karena bagaimana pun juga sektor properti dalam jangka waktu lama cukup stabil,” ujar Dennies.

Sedangkan Rudy menilai dalam jangka waktu pendek, hanya perusahaan properti tertentu yang kinerjanya cenderung aman pada tahun ini. “Terutama perusahaan yang mengandalkan recurring income. Karena dari situ pendapatan perusahaan cenderung berputar dan stabil,” kata Rudy.

Untuk itu Rudy merekomendasikan saham PWON dengan target harga Rp 720, SMRA dengan target harga Rp 1.240, dan CTRA dengan target harga Rp 1.310 per saham.

Jumat lalu, harga saham PWON naik 4,62% ke Rp 680 per saham. Harga saham Harga saham SMRA naik 2,79% ke Rp 1.105 per saham dan CTRA naik 2,83% menjadi Rp 1.090 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×