Reporter: RR Putri Werdiningsih | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Walaupun posisinya semakin terancam setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memberlakukan bea impor, tetapi pasar aluminium sejatinya masih memiliki katalis positif. Bahkan, kekhawatiran perang dagang yang tengah merebak belakangan berpeluang menguntungkan komoditas.
“Sejarah mencatat perang dagang lebih banyak merugikan ekonomi AS,” ungkap Wahyu Tribowo Laksono, analis PT Central Capital Futures.
Ia melihat nantinya isu perang dagang tidak akan berpengaruh banyak. Ketika kekhawatiran merebak mau tidak mau dollar AS pasti akan tertekan, dan itu bisa menjadi katalis positif bagi harga komoditas termasuk aluminium. Apalagi tren pelemahan greenback masih terbuka lebar setelah The Fed memutuskan hanya akan menaikkan suku bunga sebanyak tiga kali tahun ini.
Selain itu, dari sisi permintaan diperkirakan kebutuhan aluminium global akan tumbuh 4% mulai 2018-2020 nanti. Pertumbuhan sektor konstruksi dan manufaktur otomotif China akan menjadi pendorong utamanya. Sinyal positif juga semakin disokong oleh kenaikan penurunan produksi sebesar 4 juta ton dalam periode tersebut.
“Harga aluminium diperkirakan naik 3% antara tahun 2018 sampai 2020,” papar Wahyu.
Walaupun beberapa produsen mobil listrik mulai beralih dari penggunaan aluminium ke baja, tetapi hal ini tetap tak meredupkan sentimen positif aluminium. Permintaan masih akan datang dari industri kendaraan hibrida yang tengah ramai permintaan. Blok mesin pembakaran dan transmisi biasanya terbuat dari aluminium.
Berbekal beberapa sentimen tersebut, Wahyu memperkirakan, Kamis (29/3), harga aluminium akan bergerak di kisaran US$ 2.002-US$ 2.005 per metrik ton. Kemudian sepekan mendatang, harga bisa berada di area US$ 1.995-US$ 2.008 per metrik ton.
Mengutip Bloomberg, Selasa (27/3), harga aluminium kontrak pengiriman tiga bulanan di London Metal Exchange (LME) ditutup turun 0,34% ke level US$ 2.045 per metrik ton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News