Reporter: Dede Suprayitno | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2017 mendapat respon yang beragam. Beberapa menilai bahwa angka tersebut masih dibawah ekspektasi. Apakah hal tersebut turut mengubah portofolio investor di pasar modal?
Investor saham, Prodjo Sunarjanto Sekar Pantjawati menyatakan, angka Produk Domestik Bruto (PDB) tersebut tidak banyak mengubah strategi dia dalam berinvestasi. Pasalnya, dia akan melihat langsung bagaimana sentimen yang ada dalam sektor usaha tertentu. "Selama ini biasanya ada di perbankan dan tambang juga ikut main, tapi trading," kata Prodjo kepada KONTAN, Selasa (8/8)
Sekadar mengingatkan, PDB Indonesia kuartal II naik 5,01%, sama seperti kuartal sebelumya.
Menurut Prodjo yang juga Presiden Direktur PT Adi Sarana Armada Tbk (ASSA) ini melihat, sektor yang paling banyak terpukul saat ini yakni ritel. Sementara sektor komoditi, seperti tambang, dan perkebunan pada saat ini terdapat pertumbuhan.
"Untuk properti, orang masih takut sama pajak. Orang jadi takut. Sekarang masih slow down semua," kata dia.
Berkaca dari indikator itu, dia tidak melihat banyak hal yang positif dari sektor tersebut selama kebijakan pemerintah masih kontraproduktif. "Harus ada jaminan, bisnis nyaman, supaya lebih berani, sehingga orang mau investasi," lanjutnya.
Saat ini, Prodjo banyak berinvestasi pada instrumen saham. Porsinya bisa mencapai 80%. Beberapa diantaranya terdapat pada sektor perbankan maupun tambang. Sementara sisanya, ada dalam obligasi maupun properti.
Dia menilai, obligasi memiliki yield yang rendah, sedangkan saham memiliki yield yang tinggi. "Kalau gak ke saham, bisa kalah sama inflasi," lanjutnya.
Oleh karena itu, dalam meracik portofolio investasi, Prodjo lebih banyak dengan membaca indikator yang ada. Sektor mana yang berkembang, maka dia akan masuki. Menurutnya, rilis PDB tersebut tidak serta merta mempengaruhi strategi dalam investasi.
"Saya kira pertumbuhan GDP 5,01% itu sudah cukup bagus. Negara lain tidak lebih baik dari ini. Apalagi Indonesia sudah dapat S&P," kata dia.
Pasar modal saat ini menurutnya masih belum cukup stabil. Pasalnya masih memiliki volatilitas yang tinggi, sehingga terkesan seperti trading. Selain itu, biaya iuran tahunan maupun administrasi IPO yang tinggi, juga bisa mempengaruhi perusahaan masuk bursa.
"Tapi saya kira masih bisa tembus 6.000. Asal tidak ada gonjang ganjing saja," ungkapnya.
Menurutnya, insentif yang diberikan oleh pemerintah bisa mempengaruhi orang untuk masuk pasar modal. Sehingga bisa menggairahkan perusahaan dalam meramaikan pasar modal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News