kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.180   20,00   0,12%
  • IDX 7.096   112,58   1,61%
  • KOMPAS100 1.062   21,87   2,10%
  • LQ45 836   18,74   2,29%
  • ISSI 214   2,12   1,00%
  • IDX30 427   10,60   2,55%
  • IDXHIDIV20 514   11,54   2,30%
  • IDX80 121   2,56   2,16%
  • IDXV30 125   1,25   1,01%
  • IDXQ30 142   3,33   2,39%

Aksi jual asing jumbo, simak saham-saham yang masih bisa dilirik


Minggu, 28 Oktober 2018 / 20:23 WIB
Aksi jual asing jumbo, simak saham-saham yang masih bisa dilirik
ILUSTRASI. Bursa Efek Indonesia


Reporter: Krisantus de Rosari Binsasi | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak awal tahun hingga akhir pekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 8,98%. Meski penurunan IHSG hanya satu digit, investor asing mengakumulasi penjualan bersih atau net sell senilai Rp 56,84 triliun.

Angka ini lebih besar ketimbang net sell sepanjang tahun lalu Rp 40,21 triliun. Tapi porsi asing di pasar saham justru lebih besar yakni 47% dari akhir tahun lalu sebesar 36%.

Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee menilai, aksi jual yang dilakukan oleh investor asing dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal yaitu normalisasi kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS), normalisasi neraca Federal Reserve dan kenaikan yield obligasi AS.

“Ekonomi AS sudah recovering dan hal itu ditandai dengam angka pengangguran sudah rendah dan inflasinya mulai naik. Sehingga memicu The Fed untuk lakukan normalisasi suku bunga acuan," kata Hans, Minggu (28/10).

Hans melanjutkan bahwa kenaikan suku bunga The Fed membuat yield obligasi AS jadi menarik sehingga banyak dana kembali ke AS. “Karena banyak dana kembali, maka dollar AS menguat sehingga ada risiko keluarnya aliran dana asing (capital outflow) di emerging market termasuk Indonesia,” imbuh Hans.

Selain itu, The Fed mulai menarik quantitative easing (QE) dan mulai melakukan normalisasi neraca. “Sebelum QE sekitar US$ 800 miliar dan sekarang menjadi US$ 4,8 triliun. Dan sekarang AS sudah menjual bond kurang lebih hampir US$ 600 miliar. Hal ini yang memicu banyak aliran dana asing keluar dari pasar modal kita dan pasar modal negara lain dan kembali ke AS,” ujarnya.

Selanjutnya, ia mengungkapkan bahwa ada kenaikan yield obligasi AS menyusul defisit transaksi yang melebar akibat kebijakan pemotongan pajak AS. “Likuiditas yang tadi ramai di emerging market menjadi sepi lantaran dana mulai kembali ke AS sehingga terjadi pelemahan rupiah dan ada penjualan di pasar obligasi dan pasar saham Indonesia,” tambahnya.

Sementara dari dalam negeri, faktor current account Indonesia yang defisit dan cadangan devisa yang sedikit, membuat Indonesia membutuhkan asupan dana portofolio dari luar negeri. “Namun dana portofolio yang masuk tersebut, terhenti karena kebijakan AS tadi. Hal ini membuat rupiah kian melemah sehingga banyak investor asing melakukan balancing portofolio dan banyak aliran dana yang keluar dari pasar modal Indonesia,” tutur Hans.

Lebih lanjut, Hans memprediksi bahwa net sell asing masih akan berlanjut hingga akhir tahun mengingat masih ada sentimen eksternal dan akan ada pemilihan presiden. Namun Hans bilang, para pelaku pasar domestik tak perlu panik meski faktor global lebih dominan dibanding faktor dalam negeri.

Hans menambahkan, setelah sentimen global ini berlalu, investor asing akan kembali masuk ke pasar modal. Makanya, dia menyarankan lebih baik buy on weakness jika terjadi pelemahan. Sementara soal pergerakan IHSG hingga akhir tahun, ia memprediksi bahwa tidak ada kecenderungan untuk turun tapi akan bergerak sideways dengan volalitas yang tinggi dengan rentang support 5.623 dan resistance di level 6.117.

Dari sisi saham, Hans menyarankan untuk mengoleksi saham JSMR dengan target harga akhir tahun Rp 5.311, BBNI dengan target Rp 11.666 per saham, BMRI dengan target Rp 7.766 per saham, WIKA dengan target harga Rp 1.711 per saham, dan PTPP dengan target harga akhir tahun Rp 2.368 per saham.

Sementara itu, analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta Utama mengungkapkan net sell asing terjadi karena para pelaku pasar global mencermati berbagai sentimen yang terjadi baik yang eksternal maupun internal.

Dari sisi eksternal, perang dagang antara AS dan Tiongkok dan rencana The Fed untuk menaikkan suku bunga untuk keempat kalinya pada bulan Desember turut mendorong keluarnya dana asing dari negara-negara emerging market termasuk Indonesia.

Selain itu, dinamika politik di Timur Tengah yang membuat hubungan AS dan Arab Saudi agak sedikit terganggu akibat pembunuhan wartawan Washington Post di Arab Saudi. Ada pula isu politik di Italia yang berpotensi mempengaruhi perekonomian Uni Eropa.

Untuk sentimen internal, ia bilang sejauh ini pemerintah masih cukup efektif menjaga fundamental makroekonomi domestik secara berkesinambungan. Kinerja sejumlah emiten pada kuartal III 2018 ini rata-rata berada di atas ekspektasi pasar.

“Sehingga saat ini hingga akhir tahun nanti, investor asing masih akan terus mencatatkan porsi pembelian atas saham-saham berkapitalisasi besar maupun yang memiliki kinerja fundamental yang bagus,” paparnya.

Lebih lanjut Nafan mengungkapkan bahwa pergerakan IHSG sejak Juni cukup terkonsolidasi dan tidak terjadi penurunan yang signifikan. Dia memprediksi IHSG pada akhir tahun nanti masih akan cenderung konsolidasi dengan akan rentang support di level 5.560 dan resistance di level 6.117.

Dari sisi saham, ia merekomendasikan untuk mengoleksi saham seperti ASII dengan target harga jangka pendek Rp 7.580 per saham, BBCA dengan target harga Rp 24.700 per saham, BBRI dengan target Rp 3.290 per saham, dan BMRI dengan target harga Rp 6.850 per saham.

Nafan pun merekomendasikan saham GGRM dengan target harga Rp 77.425 per saham, ICBP dengan target Rp 9.150 per saham, INCO dengan target Rp 3.180 hingga Rp 3.300 per saham. Saham INTP pun bisa dilirik dengan target harga Rp 17.850 per saham, SMGR dengan target harga Rp 10.000 per saham, SRIL dengan target Rp 372 per saham, WEGE dengan target Rp 252 per saham dan WTON dengan target harga Rp 340 per saham.

Analis Panin Sekuritas William Hartanto turut mengungkapkan hal yang serupa. “Namun, saya melihat ada pendatang baru yang merupakan investor asing dan mereka melakukan pembelian. Tapi jumlahnya tak sebesar dibanding yang melakukan aksi jual. Tapi, saya perhatikan masih banyak saham yang dibeli asing di tengah net sell ini,” kata William, Minggu (28/10).

Selanjutnya, William menerangkan bahwa pelemahan indeks tentu ada kaitannya dengan aksi jual yang dilakukan oleh investor asing. “Tentu ada kaitannya sebab saat mereka panik dan melakukan penjualan besar-besaran pasti akan membuat indeks turun. Sedangkan faktor lainnya yang menjadi alasan mengapa mereka melakukan penjualan adalah karena kondisi ekonomi Indonesia yang membuat mereka ragu untuk berinvestasi di sini,” tambahnya.

Dia menambahkan, hingga akhir tahun nanti masih terbuka peluang untuk net sell lebih lanjut namun terbatas. Hal ini akan dipengaruhi oleh rilis laporan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang melampaui ekspektasi sehingga menjadi alasan kuat The Fed menaikkan suku bunga lagi pada Desember nanti dan pelaku pasar di sana mulai panik dan takut akan terjadinya resesi.

Namun, ia mengungkapkan bahwa hal baik yang bisa diambil dari fenoma net sell asing tersebut adalah jika investor asing di sana sudah takut pada negara sendiri, maka umumnya mereka akan melirik pasar negara berkembang termasuk Indonesia. “Itulah mengapa prediksi saya net sell asing akan terbatas,” imbuhnya.

William lantas memprediksi bahwa pergerakan IHSG pada akhir tahun 2018 akan berada pada level 6.300 hingga 6.500. “Sedangkan pada tahun 2019, akan variatif di area yang sama, sebab pemilu semakin dekat umumnya dan investor akan lebih berhati-hati dan cenderung wait and see,” ujarnya.

Dari sisi saham, ia menyarankan untuk mengoleksi saham-saham sektor properti seperti ASRI, BSDE, dan SMRA karena secara fundamental menarik dan harganya sudah murah.

Sedangkan secara teknikal untuk jangka pendek, William merekomendasikan untuk beli saham ITMG dengan target harga Rp 30.000, UNTR dengan target harga Rp 40.000-Rp 42.000 per saha, HMSP dengan target harga Rp 4.500 per saham, dan UNVR dengan target harga Rp 50.000 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×