Sumber: KONTAN | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku pasar dan industri. Akhir pekan lalu (7/11), rupiah ditutup melemah hingga mencapai Rp 11.150 per dolar AS.
Riset dua analis Macquarie Research Economics, Rajeev Malik dan Jay Mok, menyebutkan bahwa rupiah berpotensi turun lagi menjadi Rp 12.000 per dolar AS hingga akhir tahun ini. Penyebabnya adalah kombinasi antara efek krisis global dan keluarnya aliran dana asing dari Indonesia (capital outflow).
Mereka mengakui bahwa rupiah bukan satu-satunya mata uang Asia yang melemah terhadap dolar AS. Namun, mereka melihat, turunnya harga komoditas semakin memperbesar tekanan terhadap rupiah.
Keduanya berpendapat, Bank Indonesia (BI) terlambat dalam memprediksi pelemahan rupiah. Padahal, indikasi itu sudah terlihat ketika mata uang negara lain mulai melemah. Keterlambatan itu membuat pergerakan rupiah lebih liar. "BI seharusnya bisa mengarahkan pergerakan rupiah agar lebih halus dan tidak ekstrem," tulis mereka.
Bahkan, Macquarie menilai, pelemahan rupiah yang secara tiba-tiba mengingatkan pada kondisi krisis moneter pada 1997. Ketika itu, banyak perusahaan yang mencatatkan pertumbuhan negatif dan berdampak pada pelemahan ekonomi secara keseluruhan.
Nah, resesi global juga bakal membuat pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia jadi lambat. Mereka memprediksi, PDB Indonesia hanya tumbuh 3,5% pada 2009. Angka ini jauh lebih rendah dari estimasi semula, yaitu 5%. Penyebabnya, "Belanja konsumen akan turun," ujar mereka.
Namun, riset dua analis Credit Suisse, Cem Karacedag dan Kun Lung Wu, menepis analis Macquarie. Keduanya menyatakan bahwa kondisi Indonesia jauh lebih baik dibandingkan satu dekade lalu. Meski demikian, dua analis Credit Suisse ini setuju bahwa melemahnya rupiah akibat penurunan harga dan permintaan komoditas. "Tapi jika dibandingkan dengan kondisi Filipina, Indonesia masih lebih baik," katanya.
Credit Suisse melihat, BI sebagai bank sentral tak bisa membendung capital outflow. Tapi, mereka menganjurkan agar BI dan pemerintah tidak berutang ke International Monetary Fund (IMF) jikalau cadangan devisa habis. Indonesia justru akan semakin terjebak dan sulit keluar dari krisis ekonomi jika berutang lagi ke IMF.
Credit Suisse mengestimasi, angka inflasi Indonesia bakal mencapai 12,1% hingga akhir 2008. Pada 2009, PDB Indonesia hanya tumbuh 4% dengan inflasi 7,2%. Mereka meramal, rupiah bakal bergerak pada kisaran Rp 12.000 - Rp 12.500 per dolar AS. "Akibatnya, BI rate akan naik 25 basis poin menjadi 9,75% pada 2008 ini," katanya.
Direktur Currency Management Group Farial Anwar melihat, kenaikan BI rate tak akan mampu menahan pelemahan rupiah. "Cara itu tidak efektif dan sudah ketinggalan zaman," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News