Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina |
JAKARTA. Kinerja keuangan PT Adaro Energy Tbk (ADRO) tampaknya bakal terus merosot. Dalam materi paparan publik (public expose) yang dikirimkan manajemen ADRO ke Bursa Efek Indonesia (BEI), mereka memperkirakan, laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) tahun ini hanya mencapai US$ 1 miliar hingga sekitar US$ 1,3 miliar.
Proyeksi tersebut turun sekitar 13,3% - 33,3% dibandingkan realisasi EBITDA tahun 2011 yang senilai US$ 1,5 miliar. Penurunan EBITDA memang sudah diderita Adaro sejak akhir September 2012. Kala itu, Adaro hanya mampu meraih EBITDA senilai US$ 909,8 juta, turun 13,8% dari akhir kuartal III-2012 yang masih US$ 1,06 miliar.
Penurunan EBITDA yang ditanggung emiten tambang batubara ini disebabkan oleh beberapa faktor. Misalnya, terkait volume produksi. Volume produksi batubara mereka tahun 2012 sebenarnya bisa mencapai 48 juta hingga 51 juta ton. Angka ini tumbuh dari tahun 2011 yang mencapai 47,7 juta ton. Tambang Tutupan masih menjadi penopang produksi utamanya dengan kontribusi ke Adaro diprediksi mencapai 39 juta - 40 juta ton.
Sementara kontribusi tambang Wara diproyeksi sebanyak 8 juta - 10 juta ton pada tahun ini. Selanjutnya tambang Paringin yang kemungkinan menyumbang produksi batubara hingga 1 juta ton.
Namun, kenaikan produksi itu justru akan mendorong nisbah kupas (stripping ratio) Adaro. Hingga akhir 2012, nisbah kupas Adaro diperkirakan mencapai 6,4 kali, lebih tinggi dari tahun 2011 yang masih 5,9 kali.
Melambungnya nisbah kupas secara langsung mendorong biaya produksi batubara (coal cash cost) Adaro.
Pada tahun 2012, Adaro memproyeksikan biaya produksi batubara mencapai US$ 39 - US$ 42 per ton. Angka tersebut naik 8,33% - 16,7% dibandingkan dengan tahun 2011 lalu yang seharga US$ 36 per ton.
Hal tersebut yang kemudian menyebabkan perolehan EBITDA Adaro tahun ini diprediksi akan turun. Sayangnya, manajemen Adaro belum bersedia memberikan penjelasan lebih lanjut terkait proyeksi penurunan EBITDA itu.
Di sisi lain, seperti pernah diungkapkan beberapa waktu lalu, manajemen ADRO juga telah memangkas anggaran belanja modal (capex) tahun ini menjadi US$ 400 juta-US$ 500 juta. Pada awal tahun, manajemen telah menganggarkan dana antara US$ 650 juta hingga US$ 700 juta. Dana tersebut semula akan digunakan manajemen Adaro untuk menambah sejumlah alat berat untuk mendukung proses produksi.
Harga komoditas rawan
Analis Panin Sekuritas Fajar Indra menuturkan, proyeksi manajemen Adaro itu memang terbilang wajar. Hal itu berkaitan erat dengan strategi yang dilakukan Adaro. Di tahun ini, Adaro memang memacu produksi untuk memperbanyak persediaan batubara.
Maklum, harga jual batubara di tahun 2013 diprediksi bakal kembali turun. "Itu yang membuat nisbah kupas Adaro naik cukup tinggi sehingga menekan marjin EBITDA tahun ini," kata Fajar, Senin (26/11).
Kendati demikian, strategi tersebut bakal menghadirkan dampak positif di tahun depan. Menurut Fajar, nisbah kupas Adaro tidak akan naik setinggi sekarang pada tahun depan, lantaran produksi sudah mereka pacu di tahun 2012.
Strategi tersebut juga bakal menjadi sabuk pengaman bagi Adaro ketika menghadapi potensi penurunan harga jual batubara di 2013 dengan menaikkan produksi. "Strategi ini memang yang paling bisa dilakukan Adaro, saya pikir bakal efektif untuk mengantisipasi buruknya harga batubara tahun depan," terang Fajar.
Berdasarkan berbagai kondisi tersebut, Fajar merekomendasikan netral saham ADRO dengan target harga Rp 1.500 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News