Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pekan depan, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Fed akan menggelar Federal Open Market Committee (FOMC). Banyak pihak memproyeksi bank sentral negeri paman Sam ini akan kembali menaikkan suku bunga seiring tingkat inflasi yang tinggi
Asal tahu, inflasi AS meroket hingga ke level tertinggi dalam empat dekade terakhir. Tingkat inflasi AS menyentuh level 8,6% pada Mei 2022. Tingkat inflasi ini melanjutkan inflasi pada April 2022 lalu sebesar 8,3%. Melonjaknya inflasi disebabkan oleh kenaikan biaya gas, makanan dan kebutuhan lainnya pada periode Mei 2022
Analis MNC Sekuritas Tirta Widi Gilang Citradi menilai, pasar sebenarnya sudah berekspektasi bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga di sisa FOMC meeting. Pada FOMC Juni, Juli, dan September masing-masing sebesar 50 basis points (bps), dan sisa 2 meeting lagi masing-masing sebesar 25 bps.
Dus, di akhir tahun ini, The Federal Funds Rate ditargetkan di rentang 2,75%-3,00%.
Baca Juga: IHSG Rawan Koreksi, Simak Saham Rekomendasi Analis pada Perdagangan Senin (13/6)
Lebih lanjut, The Fed juga berencana mengurangi ukuran balance sheet-nya mulai awal Juni sampai akhir Agustus sebesar US$ 47,5 miliar, dan mulai awal September 2022 akan dikurangi US$ 95 miliar.
“The Fed sudah mulai diantisipasi market, sekarang giliran European Central Bank (ECB) yang akan segera menyelesaikan tapering dan keluar dari era suku bunga negatif,” terang Tirta kepada Kontan.co.id, Minggu (12/6).
Pun dengan Bank Indonesia (BI). Meskipun BI masih mempertahankan tingkat suku bunga di level 3,5%, Tirta melihat BI akan mulai menaikkan suku bunga di semester kedua 2022, dimana pada Juli 2022 bisa menjadi pertimbangan bagi bank sentral tanah air.
Proyeksi Tirta, BI memiliki ruang untuk menaikkan suku bunga hingga tiga kali dengan masing-masing kenaikan 25 bps. Dus, MNC Sekuritas memprediksi suku bunga 7-Day Reverse Repo di akhir tahun sebesar 4,25% dengan proyeksi headline inflasi 4,36% secara year-on-year (YoY)
Menurut Tirta, ada dua alasan BI masih menahan suku bunga di level terendah historis. Pertama, BI masih fokus ke pertumbuhan. Hal tersebut juga tercermin dari sisi penyaluran kredit yang tumbuh positif, Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur yang terus di level ekspansif, dan Indeks kepercayaan konsumen (IKK) yang juga di level optimis.
Baca Juga: Saham BBHI Anjlok, Kekayaan Chairul Tanjung Menguap Rp 7,3 Triliun dalam Sepekan
Kedua, pertimbangan aspek stabilitas. Memang pasar keuangan Indonesia mencatatkan portofolio outflow terutama di SBN. Tetapi dengan tingginya harga komoditas yang menyebabkan lonjakan ekspor, surplus neraca dagang berlanjut dan current account domestik masih mengalami surplus.
Analis Binaartha Sekuritas Ivan Rosanova juga menilai, The Fed masih akan menaikkan suku bunga kembali sebanyak 50 bps pada dua pertemuan berikutnya, dimana pertemuan yang terdekat adalah pekan depan.
Jika melihat pasar saham secara global menjelang rapat FOMC, maka ada indikasi bahwa pelaku pasar mulai melakukan antisipasi pada Jumat (10/6). Antisipasi ini ditandai dengan aksi jual dan pelemahan indeks.
Pada Jumat (10/6), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 1,34% ke level 7.086,64. Pelemahan ini dibarengi dengan aksi jual bersih investor asing yang mencapai Rp 360,12 miliar di pasar reguler.
Oleh karena itu, pelaku pasar perlu mengantisipasi kemungkinan koreksi terhadap IHSG berlanjut dengan support terdekat di 7.000 sebagai target pelemahannya di pekan depan. Level resistance IHSG sendiri ada di level 7.300
“Dimana selama IHSG masih belum sanggup menembus level ini, maka aksi jual akan membayangi IHSG ke depan dan mulai terbentuk lower high pada chart,” terang Ivan, Minggu (12/6).
Menurut Ivan, terdapat sejumlah saham yang menarik secara teknikal untuk dicermati pekan depan, seperti BTPS, INKP, MIKA dan PGAS.
Sementara itu, Tirta merekomendasikan sejumlah saham emiten perbankan, diantaranya beli saham BBRI dengan target Rp 5.500, beli ARTO dengan target harga Rp 16.000, hold BBCA dengan target harga Rp 7.900, hold BMRI dengan target harga Rp 8.900, dan hold BBNI dengan target harga Rp 9.000.
Menurut Tirta, kenaikan suku bunga memang akan ada dampaknya bagi emiten perbankan, tapi tidak akan secara langsung. Yang perlu diperhatikan dari sektor perbankan saat ini adalah dari sisi net interest margin (NIM)
Saat ini funding perbankan memang banyak didominasi oleh dana murah atau current account saving account (CASA), sehingga cost of fund (CoF) menurun.
Ke depan, kenaikan suku bunga ini juga pastinya akan direspons oleh perbankan terutama dari sisi portfolio credit mix-nya, agar sisi NIM tidak tertekan. Bank yang punya eksposur besar terhadap UMKM atau CASA yang besar dari total funding akan cenderung diuntungkan.
“Namun ingat, adanya kenaikan giro wajib minimum (GWM) yang diakselerasi juga akan berpengaruh terhadap NIM karena yield dari remunerasi yang ditawarkan lebih rendah,” tutup Tirta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News