Reporter: Cindy Silviana Sukma | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Sulit mengatur uang justru membuat Presiden Direktur PT Fujitsu Indonesia Achmad Sofwan 'terpaksa' berinvestasi sejak 30 tahun lalu. Ini bertujuan untuk mengontrol pengeluarannya. Ia disiplin mengalokasikan sepertiga dari pendapatan tiap bulan untuk diinvestasikan.
Pria lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Teknik Mesin ini mengaku, mayoritas dana investasinya banyak dialokasikan ke properti. Sejak mulai mencicil rumah untuk ditinggali sendiri, Achmad pun ketagihan membeli properti untuk investasi.
Kira-kira baru dua tahun ia bekerja, Achmad membeli rumah pertamanya di Jakarta. Ia ingat saat itu, cicilan pertama masih sekitar Rp 400.000 per bulan. Setelah cicilan rumah tersebut lunas, Achmad terus menambah propertinya lagi. Caranya, rumah yang sudah lunas, ia "sekolahkan" alias hipotek ke bank, kemudian ia membeli lagi yang baru, lalu ia jaminkan lagi ke bank.
Kebiasaan berinvestasi seperti ini, telah ia jalani selama tiga puluh tahun. Ia tertarik menambah properti karena kenaikan harga yang cukup besar tiap tahun. "Properti itu memiliki gain cukup besar dan cukup aman. Apalagi, saya perhatikan rata-rata kenaikannya bisa mencapai 18%-20% per tahun," ujarnya.
Selain properti, Achmad juga pernah memiliki reksadana pada tahun 2000. Menurutnya, reksadana cukup aman dan sudah diatur manajer investasi. Ia memiliki reksadana campuran, pendapatan tetap dan reksadana saham. Namun, menurut dia investasi di reksadana lebih tepat untuk jangka panjang. Selama 10 tahun, ia mendapat rata-rata kenaikan sebesar 18% per tahun. Reksadana juga lebih fluktuatif, mengikuti pergerakan harga saham.
Achmad juga pernah mencoba masuk ke bursa saham. Namun, saat tahun 2008 - 2009, di kala pasar saham sedang rontok, harga saham yang ia pegang ikut rontok. Ia pun sempat merugi besar. Karena itu, hingga kini ia belum berani kembali masuk ke saham.
Harus punya strategi
Achmad pun kembali lagi fokus ke investasi di bidang properti. Kini, ia memiliki dua rumah tinggal. Satu di Jakarta yang menjadi tempat tinggalnya, dan satu lagi di Solo untuk tempat tinggal sang ibu. Achmad juga mempunyai dua lahan kosong dan dua bangunan untuk penyewaan tempat tinggal (kos).
Kendati pertumbuhan harga properti cukup tinggi tiap tahun, ia sadar properti merupakan jenis investasi yang pasif. Untuk itu, selama tiga tahun terakhir, ia mulai fokus mengembangkan usaha kos-kosan di Depok, dekat Universitas Indonesia. Beberapa lahan yang sempat ia miliki, akhirnya dijual untuk modal usaha kos-kosan.
Ia pun sedang membangun lagi rumah kos di lahan kosong sebelah bangunan yang telah ia sewakan untuk kos. Satu kamar kos, bisa Achmad sewakan sekitar Rp 600.000 - Rp 700.000 per bulan (tanpa pendingin ruangan), dan Rp 1,5 juta per bulan dengan pendingin ruangan. Hampir semua kamar yang ia sewakan sudah terisi penuh. "Pendapatannya lumayan, meski hanya 1,5% dari gaji, setidaknya cukup aktif dan bisa menjadi pendapatan berulang," tutur dia.
Karena properti memang bukan investasi likuid, penggemar joging ini juga masih memiliki cadangan dana seperti deposito untuk kebutuhan mendadak.
Baginya, investasi menjadi suatu keharusan. Namun, sebelum melakukan investasi, ia menyarankan agar selalu membuat perencanaan investasi. Ini sangat membantu untuk memutuskan investasi apa yang akan dipilih dan punya strategi," ujar Achmad.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News