Reporter: Wahyu Satriani | Editor: Edy Can
JAKARTA. Setiap penerbitan obligasi syariah atau sukuk korporasi kini wajib disertai pemeringkatan efek. Ketentuan itu masuk dalam revisi peraturan Bapepam-LK nomor IX.C.11 tentang Pemeringkatan Efek Bersifat Utang dan Sukuk.
Mengutip draf revisi, setiap perusahaan yang terdaftar di pasar modal atau emiten yang akan menerbitkan sukuk wajib memperoleh peringkat efek dari perusahaan pemeringkat efek. Dalam dokumen pemeringkat efek, setidaknya harus ada informasi mengenai keunggulan emiten serta sukuk yang diterbitkannya.
Dokumen juga harus memuat keterangan tentang kemampuan emiten memenuhi kewajibannya yang muncul dari penerbitan sukuk. Selain itu, dokumen itu harus memuat kelemahan emiten dan sukuk yang diterbitkan serta kaitannya dengan risiko yang mungkin dihadapi pemegang efek. Hasil atau simbol peringkat efek sukuk harus mencerminkan keunggulan dan kelemahan itu.
Dalam ketentuan lama, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) tidak mengatur secara spesifik mengenai pemeringkatan sukuk. Aturan lama hanya mengatur tentang pemeringkatan atas efek bersifat utang.
Presiden Direktur PT Pemeringkat Efek Indonesia atau Pefindo, Ronald T. Andi Kasim, mengemukakan bahwa pemeringkatan untuk penerbitan sukuk sejatinya sudah dilakukan selama ini. Menurut dia, revisi aturan Bapepam-LK itu lebih mempertegas posisi pemeringkatan sukuk. "Aturan sebelumnya memang hanya menyebutkan efek bersifat utang. Di efek bersifat utang tersebut termasuk obligasi baik konvensional maupun syariah," ungkap Ronald, Jakarta, Senin (16/1).
Ronald menjelaskan, pemeringkatan sukuk sangat diperlukan untuk mencerminkan kemampuan emiten memenuhi kewajibannya. Adapun teknis pemeringkatan sukuk korporasi agak berbeda dengan pemeringkatan obligasi korporasi konvensional.
Dalam penerbitan sukuk, pemeringkatan juga dilakukan dengan menelaah aset dasar atau underlying asset yang digunakan sebagai jaminan untuk pelunasan utang. "Selain aset dasar sukuk, kami juga memeriksa aset dan perusahaan yang menerbitkan sukuk," ujar dia.
Selama ini minat emiten untuk menerbitkan sukuk korporasi masih terbilang rendah. Pefindo hingga kemarin belum menerima pesanan pemeringkatan sukuk pada tahun ini. "Kalau informal banyak yang menyatakan. Salah satunya PLN yang kemungkinan cukup besar menerbitkan sukuk pada tahun ini," tutur Ronald.
Tapi penerbitan sukuk korporasi sepanjang tahun ini diprediksi minim karena minat emiten masih rendah. Salah satu penyebabnya adalah, tahapan penerbitan sukuk korporasi lebih panjang daripada menerbitkan obligasi konvensional. "Kalau untuk sukuk, emiten harus melakukan lebih banyak tahap karena harus meminta izin ke Dewan Syariah Nasional," ujar Ronald.
Selain itu, biaya dana atau cost of fund untuk penerbitan sukuk lebih besar dibandingkan ongkos menerbitkan surat utang konvensional. Investor akan meminta risk premium lebih tinggi daripada obligasi konvensional. Ini lantaran pasar sukuk belum likuid.
Associate Director Standard Chartered Securities, Yuniar Restanto, berpendapat, pemeringkatan sukuk perlu dilakukan untuk memberikan kepastian bagi investor. "Kalau mau laku, ya harus di-rating," ujar dia.
Pasar sukuk sejatinya masih luas. Beberapa investor seperti perbankan dan reksadana syariah selama ini mengeluh tentang minimnya instrumen sukuk korporasi di pasar. "Mereka punya banyak uang, tapi instrumennya susah. Jadi permintaan masih besar dan investor ingin mencari instrumen tersebut," kata Yuniar. Standard Chartered hingga kemarin belum memiliki proyek penerbitan sukuk pada tahun ini.
I Made Adi Saputra, Analis Obligasi Nusantara Capital Securities, melihat investor cenderung akan memburu sukuk korporasi di pasar perdana. Sebab, instrumen ini jarang terbit.
Sukuk korporasi juga sulit ditemukan di pasar sekunder karena investor cenderung menggenggam instrumen itu hingga jatuh tempo alias hold to maturity. "Karena keterbatasan di pasar sekunder, investor akan memburu penerbitan sukuk pada pasar perdana," tutur dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News