kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Menakar efek stimulus ke saham komoditas


Senin, 24 September 2012 / 06:05 WIB
Menakar efek stimulus ke saham komoditas
ILUSTRASI. Peralatan dapur adalah hal utama yang wajib ada bersama bahan makanan & bumbu dapur. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/25/04/2021


Reporter: Muhammad Khairul | Editor: Sandy Baskoro

JAKARTA. Setelah merosot cukup dalam, harga berbagai komoditas di pasar berjangka internasional menanjak lagi di September. Kenaikan tersebut seolah menyambut kebijakan sejumlah bank sentral yang berniat mengucurkan stimulus ekonomi.

Selain European Central Bank dan Federal Reserve, belakangan Bank of Japan menyatakan siap membeli aset untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Harga minyak mentah untuk pengiriman November 2012 di bursa New York, bergerak di atas US$ 90-an per barel selama pekan lalu. Padahal, di akhir Juni 2012, harga minyak sempat anjlok ke posisi 79 per barel. Harga batubara di bursa ICE juga sudah bergerak di atas US$ 90 per ton. Pada akhir Juni lalu, batubara susut hingga US$ 79 per ton.

Analis Panin Sekuritas Fajar Indra berpendapat stimulus The Fed akan melemahkan nilai dollar AS sekaligus mengangkat komoditas. “Yang paling penting industri manufaktur dan energi kembali bergairah dengan adanya stimulus itu,” ujar dia.

Managing Partner Investa Saran Mandiri, Kiswoyo Adi Joe, menilai efek stimulus moneter, khususnya dari The Fed, biasanya hanya kuat memberikan dorongan pada tiga bulan pertama. Harga komoditas bisa saja naik sampai akhir tahun ini, namun belum tentu akan bergerak kencang. “Karena harapan ekonomi membaik masih jauh, sehingga permintaan belum tentu naik,” ungkap dia.

Sektor komoditas batubara dan minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dianggap masih menarik. Permintaan CPO relatif lebih stabil ketimbang sektor batubara. Ini lantaran berkaitan dengan konsumsi masyarakat.

Apalagi, pasokan minyak sawit mentah juga lebih terbatas karena butuh waktu sekitar empat tahun untuk panen. “Ketika harga CPO naik tapi belum berbuah. Jadi pasokannya tidak berubah. Sedangkan tambang, ketika harga naik bisa digenjot produksinya,” tutur Kiswoyo.

Sedangkan sektor pertambangan lain, seperti nikel belum berprospek cerah dalam waktu dekat. Harga saham batubara masih berpeluang naik, namun saham produsen nikel seperti ANTM agak sulit. "Belum ada yang bisa mengangkat permintaan nikel dalam jumlah besar dalam waktu dekat,” ucap Kiswoyo.

Untuk melihat harga komoditas naik lebih tinggi, menurut Fajar, memang agak sulit karena prospek perbaikan ekonomi dunia masih jauh. “Paling tinggi harga batubara tahun ini bergerak di US$ 95 hingga US$ 98 per ton. Tahun depan akan lebih baik, bisa ke US$ 100 per ton,” kata dia.

Tren pelemahan harga batubara tahun ini pun memaksa emiten batubara memangkas target produksi. Namun ada beberapa emiten batubara yang bisa bertahan di tengah pelemahan industri, seperti ITMG dan HRUM. “Mereka punya high quality coal. Biasanya dihargai lebih tinggi,” ungkap Fajar.

Bahkan ketika harga batubara produsen lain cenderung turun di semester I 2012, kedua emiten tersebut masih mampu menaikkan harga jual hingga 5% year-on-year. Fajar pun optimistis kinerja saham ITMG, HRUM, dan PTBA masih mampu bertumbuh.

Analis Batavia Prosperindo Sekuritas, Yasmin Soulisa, mengatakan sektor CPO masih menarik ketimbang komoditas lain untuk jangka panjang. “CPO lebih menarik karena basisnya untuk minyak goreng dan juga bahan bakar substitusi,” tutur dia.

Selain itu, tingginya permintaan minyak sawit mentah di dalam negeri masih bisa menopang pelemahan penjualan ekspor. Di sektor agribisnis, Yasmin memilih saham BWPT. “Konsumsinya 100% adalah dalam negeri. Usia tanamannya termasuk yang paling muda,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×