kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Di tengah penurunan harga CPO, ini rekomendasi untuk saham Sampoerna Agro (SGRO)


Senin, 29 Oktober 2018 / 17:29 WIB
Di tengah penurunan harga CPO, ini rekomendasi untuk saham Sampoerna Agro (SGRO)
ILUSTRASI. Panen kelapa sawit


Reporter: Krisantus de Rosari Binsasi | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) membukukan kinerja yang kurang memuaskan pada kuartal III 2018 ini lantaran harga minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) tengah turun.

Analis Phitraco Sekuritas Valdy Kurniawan memprediksi, tren negatif harga CPO diperkirakan masih akan berlanjut hingga akhir tahun nanti.

"Pertimbangannya adalah tren negatif harga CPO sepanjang tahun 2018, kenaikan cadagangan CPO Malaysia sebesar 1,45% mom menjadi 2.54 juta ton per September 2018," ujarnya, Senin, (29/10).

Meski demikian, Valdy tetap melihat ada potensi rebound harga CPO jelang akhir tahun 2018. "Hal ini didasari oleh potensi penurunan produksi akibat musim hujan di area penghasil CPO. Selain itu harga CPO juga bergantung pada supply maupun demand dan karena potensi kenaikan permintaan dari kawasan Eropa dan AS yang memasuki musim dingin sehingga bisa membantu kinerja emiten CPO seperti SGRO untuk memperbaiki kinerjanya," paparnya.

Dari sisi saham, ia mengatakan, secara teknikal saat ini saham SGRO menunjukan sinyal bullish reversal dengan breakout resistance di level Rp 2.400 per saham dan untuk memvalidasi sinyal ini, SGRO akan menguji resistance selanjutnya di level Rp 2.450 per saham.

"Sehingga boleh beli saham SGRO dengan target harga di akhir tahun nanti di level Rp 2.500 per saham," pungkasnya.

Sementara itu analis Panin Sekuritas William Hartanto mengatakan, kinerja SGRO akan sulit membaik selama harga CPO masih menurun.

Maka, ia menganjurkan agar emiten tersebut perlu mengurangi produksi karena kinerja penjualannya juga menyusut atau dengan kata lain SGRO perlu menyesuaikan dengan kondisi pasar saat ini.

"Jika produksi kebanyakan dan penjualan menurun maka akan tercatat beban produksi yang tinggi sehingga laporan keuangan akan sulit membaik," ungkapnya.

Dari sisi saham, ia melihat pergerakan harga saham SGRO lagi naik sehingga menarik untuk dibeli. "Jika tren naiknya masih berlanjut dan selama harga bertahan di atas support Rp 2.200 per saham, maka target harga di jangka panjang di level Rp 3.000 per saham," katanya.

Sebagai informasi, SGRO membukukan penurunan penjualan 10% menjadi Rp 2,28 triliun hingga September 2018. Padahal pada periode yang sama tahun lalu, SGRO mampu mencatatkan Rp 2,53 triliun.

Penjualan minyak sawit yang menjadi penyumbang terbesar, mengalami penurunan sebesar 6% year on year menjadi Rp1,85 triliun. Kenaikan volume penjualannya yang sebesar 4% tidak mampu menyeimbangi penurunan harga jual yang mencapai sebesar 9%.

Beban pokok penjualan pun turun 8% menjadi Rp 1,68 triliun dari Rp 1,83 triliun pada periode sembilan bulan pertama tahun lalu.

Alhasil, laba bersih SGRO turun 17% menjadi Rp 168,84 miliar pada periode September 2018 dari Rp 203,49 miliar pada periode September tahun lalu.

Sementara dari sisi operasional, kinerja SGRO cukup naik signifikan karena pada kuartal III ini ada peningkatan kontribusi penjualan CPO sebesar 45% menjadi Rp 322,17 miliar dari Rp 222,60 miliar pada kuartal sebelumnya.

SGRO juga mencatat total produksi minyak sawit sebesar 289.484 ton pada sembilan bulan pertama 2018, atau 29% lebih tinggi
dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.

Sementara total produksi Tandan Buah Segar Inti (TBSI) pada kuartal III 2018 naik 26% menjadi 792.466 ton dan total produksi Tanda Buah Segar Eksternal (TBSE) tumbuh 34% menjadi 605.810 ton.

Namun, Head of Investor Relations SGRO Michael Kesuma mengatakan bahwa lonjakan volume produksi yang terjadi pada kuartal III ini tidak sepenuhnya terealisasi pada kinerja keuangan Perseroan.

"Hal tersebut diakibatkan adanya peningkatan jumlah persediaan di akhir September, sebagai dampak dari permasalahan logistik yang terjadi pada industri sawit secara nasional, khususnya di tengah periode panen sedang memuncak," jelasnya.

Namun, kalau dilihat secara year on year, kontribusi penjualan CPO pada periode sembilan bulan pertama 2018 memang turun 6% menjadi Rp 1,85 triliun dari Rp 1,97 triliun pada periode yang sama di tahun lalu.

Hal itu disebabkan karena pada sembilan bulan pertama tahun ini harga jual rata-rata CPO turun 9% menjadi Rp 7.528 per kg dari Rp 8.314 per kg pada periode yang sama di tahun lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×