Reporter: Yuliana Hema | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tak bisa dipungkiri, pasar saham sangat sensitif terhadap isu yang mempengaruhi sentimen pergerakan harga sebuah saham.
Tak jarang, harga saham yang memiliki kapitalisasi atauĀ market capsĀ kecil di pasar tiba-tiba terbang tinggi. Padahal, fundamental kinerja emiten masih negatif. Selain itu, tak ada aksi korporasi yang dilakukan emiten.
Salah satu sentimen yang bisa melambungkan harga saham adalah transaksi semu. Transaksi ini bisa dilakukan antara pembeli dan penjual yang tidak menimbulkan perubahan kepemilikan atau manfaat atas transaksi itu.
Baca Juga: Papan Pemantauan Khusus Untuk Saham-Saham Yang Berkasus
Namanya juga transaksi semu, tujuannya menciptakan gambaran semu atau menyesatkan investor. Dus, memberikan kesan sebuah saham aktif diperdagangkan. Akhirnya, membentuk kenaikan harga saham untuk memancing minat investor.
Toh, pihak regulator mengaku sudah melakukan pengawasan ketat.
Djustini Septiana, Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal I Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menjelaskan, institusinya rutin melakukan pengawasan melalui sistem monitoring secara elektronik.
Jika ada transaksi di luar kebiasaan, maka sistem akan memberikan peringatan.
Baca Juga: Mengukur Manfaat Kehadiran Papan Pemantauan Khusus
Setelah itu, OJK dan Bursa Efek Indonesia (BEI) akan melakukan peninjauan dalam beberapa periode transaksi saham.
Kalau terindikasi ada pelanggaran atau dicurigai transaksi semu, akan dilakukan pemeriksaan.
"Jika terbukti, dikenakan sanksi. Mulai dari peringatan tertulis dan denda, sampai pelarangan berkegiatan di pasar modal," kata Djustini saat dihubungi Kontan, kemarin.
Pengamat Pasar Modal Universitas Indonesia Budi Frensidy berharap, pemberian sanksi praktik transaksi semu harus lebih diperkeras mulai dari perdata hingga pidana.
Baca Juga: Masyarakat Makin Melek Digital, Tren Menabung di Bank Digital Ikut Meningkat
"Karena merugikan banyak investor," kata Budi kepada Kontan, Jumat (3./2).
Budi juga menyarankan, agar regulator tidak terlalu mudah mengizinkan perusahaan yang bisnisnya masih kecil untuk menggelar penawaran umum perdana saham (IPO).
"Karena investor masih kurang literasi keuangan," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News