kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.942.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.395   -20,00   -0,12%
  • IDX 6.907   -61,50   -0,88%
  • KOMPAS100 997   -14,27   -1,41%
  • LQ45 765   -9,88   -1,28%
  • ISSI 225   -2,18   -0,96%
  • IDX30 397   -4,54   -1,13%
  • IDXHIDIV20 466   -5,69   -1,21%
  • IDX80 112   -1,62   -1,42%
  • IDXV30 115   -1,15   -0,99%
  • IDXQ30 128   -1,29   -0,99%

Wall Street Bersiap Hadapi Tekanan Setelah Serangan AS ke Iran


Minggu, 22 Juni 2025 / 18:36 WIB
Wall Street Bersiap Hadapi Tekanan Setelah Serangan AS ke Iran
ILUSTRASI. Wall Street: Traders work on the floor at the New York Stock Exchange (NYSE) in New York City, U.S., June 11, 2025. REUTERS/Brendan McDermid


Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID – NEW YORK. Ketegangan geopolitik kembali membayangi pasar keuangan global setelah Amerika Serikat meluncurkan serangan terhadap Iran pada akhir pekan.

Pelaku pasar memperkirakan adanya aksi jual (selloff) di bursa saham pada Senin (23/6), sebagai reaksi awal atas eskalasi konflik di Timur Tengah.

Dalam pidato yang disiarkan secara nasional, Presiden AS Donald Trump menyebut serangan tersebut sebagai "sukses militer yang spektakuler", dan mengklaim bahwa fasilitas pengayaan nuklir Iran telah dihancurkan.

Baca Juga: AS Serang Fasilitas Nuklir Iran, Harga Minyak bisa Melonjak Jika Konflik Meluas

Trump juga memperingatkan bahwa serangan tambahan bisa dilakukan jika Iran menolak untuk berdamai.

Sebaliknya, Iran menyatakan siap membela diri dengan segala cara. Teheran mengancam akan memberikan "konsekuensi abadi" dan meningkatkan serangan terhadap Israel.

"Sulit membayangkan pasar saham tidak bereaksi negatif. Besarnya dampak akan tergantung pada reaksi Iran dan seberapa tinggi harga minyak melonjak," ujar Steve Sosnick, Kepala Strategi Pasar di Interactive Brokers, Connecticut.

Baca Juga: Agresi Israel-AS Terhadap Iran dan Retorika Kosong Para Pemimpin Negara Timur Tengah

Harga Minyak dan Inflasi Jadi Sorotan

Konflik Israel-Iran sebelumnya telah mendorong harga minyak melonjak dan menciptakan kehati-hatian di pasar.

Meskipun pasar saham relatif stabil, lonjakan harga minyak dikhawatirkan akan memicu inflasi dan mengganggu proyeksi penurunan suku bunga oleh Federal Reserve.

Pekan lalu, The Fed memang mempertahankan suku bunga acuan, namun mengisyaratkan kemungkinan penurunan di akhir tahun ini.

Namun, laju penurunan diprediksi lebih lambat dibanding proyeksi sebelumnya, sebagian karena tekanan inflasi dari tarif dan potensi lonjakan harga energi.

"Pertanyaannya adalah sejauh mana harga minyak memicu inflasi—dan itu akan berdampak pada kebijakan moneter serta berapa lama The Fed mempertahankan suku bunga yang restriktif," jelas Sonu Varghese, Analis Makro Global di Carson Group.

Baca Juga: Pentagon Siaga! 40.000 Tentara AS di Timur Tengah Terancam Usai Serangan ke Iran

Bursa Saham Waspada, Investor Cari Aset Aman

Indeks S&P 500 saat ini berada sekitar 2,7% di bawah rekor tertingginya pada Februari lalu.

Meskipun sempat pulih sejak aksi jual di awal April, indeks ini belum mampu menembus level tertinggi baru selama 27 sesi perdagangan terakhir.

Situasi saat ini diperkirakan akan memicu lonjakan permintaan terhadap aset safe haven seperti dolar AS dan obligasi pemerintah (Treasuries).

Namun, tidak semua pelaku pasar melihat situasi ini secara pesimistis.

"Saya pikir ini bisa menjadi sentimen positif bagi pasar saham, terutama karena investor sebelumnya telah mengantisipasi dua minggu ketidakpastian," kata Mark Malek, CIO Siebert Financial.

Ia menilai, serangan ini bisa dipandang sebagai "sekali pukul" dan bukan tanda konflik berkepanjangan.

Baca Juga: Spesifikasi B-2 Spirit: Bomber Siluman AS yang Hantam Situs Nuklir Iran

Data Ekonomi AS Tetap Jadi Perhatian

Di luar perkembangan geopolitik, investor juga akan mencermati rilis sejumlah data ekonomi AS pekan ini.

Termasuk di dalamnya data aktivitas bisnis dan penjualan rumah (Senin), indeks kepercayaan konsumen (Selasa), serta indeks harga PCE (Jumat).

Kepercayaan konsumen AS sebelumnya anjlok akibat kekhawatiran terhadap inflasi dan resesi yang dipicu tarif.

Namun, dengan meredanya ketegangan dagang dengan China dan inflasi yang relatif terkendali, sebagian analis memperkirakan adanya perbaikan sentimen.

"Data survei sempat terpukul pada Maret hingga Mei, tapi saya perkirakan akan ada perbaikan," tutur Mark Hackett, Kepala Strategi Pasar di Nationwide—sebelum serangan AS terhadap Iran terjadi.

Selanjutnya: Rencana Kinerja Global Sukses (DOSS) di Tahun 2025: Eskpansi hingga Digitalisasi

Menarik Dibaca: iPhone 11 Pro Masih Dapat Update iOS? Yuk, Cek Jawabannya Berikut ini!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×