Reporter: Sinar Putri S.Utami | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Setelah lima tahun ketentuan wajib menyertakan dokumen letter of credit (L/C) dalam kegiatan ekspor dicabut, tahun ini pemerintahan Joko Widodo memutuskan memberlakukannya kembali. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No. 4 Tahun 2015 yang mewajibkan ekspor produk strategis menggunakan L/C.
Awalnya Kementerian Perdagangan mewajibkan empat produk ekspor mengikuti aturan wajib L/C. Keempatnya adalah, minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan minyak inti sawit (CPKO), mineral, batubara, serta minyak dan gas bumi. Namun belakangan pemerintah mengecualikan ketentuan wajib L/C terhadap keempat komoditas tersebut selama memenuhi syarat yang ditetapkan.
Meskipun telah diberi celah agar pengusaha keempat komoditas tersebut mendapatkan pengecualian, namun para pengusaha masih keberatan terhadap beleid baru tersebut. Salah satunya, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI). Asosiasi ini meminta pemerintah mengevaluasi kembali kebijakan itu manakala tidak sesuai tujuannya, yakni memperbaiki catatan ekspor dalam negeri.
Para analis saham juga memandang beleid tersebut akan berdampak kurang baik bagi perusahaan khususnya di sektor batubara. "Peraturan tersebut akan berdampak negatif," ujar Yasmin Soulisa, Analis BNI Securities kepada KONTAN akhir pekan lalu.
Yasmin menilai, aturan itu menambah beban perusahaan dari segi waktu dan dana. Untuk proses mendapatkan L/C, perusahaan harus menunggu satu hingga dua bulan, belum lagi jika ada masalah administrasi. Sehingga tak menutup kemungkinan, jika nantinya cadangan barang alias inventory perusahaan akan meningkat.
Dari segi biaya, papar Yasmin, dibutuhkan anggaran lebih untuk mendapatkan L/C. Walaupun anggarannya tak terlalu besar, tapi hal itu cukup sensitif mempengaruhi keadaan keuangan perusahaan, mengingat harga batubara saat ini tengah terpuruk. Alhasil Yasmin memperkirakan, peraturan wajib L/C akan menekan kinerja emiten batubara. "Saat ini margin perusahaan rata-rata menurun dan akan semakin berat," ujar dia.
Harga rendah
Senada Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee mengatakan, aturan wajib L/C akan menyulitkan perusahaan batubara yang memiliki porsi ekspor cukup besar, seperti PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Bumi Resources Tbk (BUMI), dan PT Indika Energy Tbk (INDY). Apalagi tahun ini ada banyak tantangan yang menghadang emiten batubara.
Tantangan berat datang dari harga batubara yang semakin turun. Sejak awal tahun ini, harga batubara sudah turun 8,89%. Adapun di akhir pekan lalu harga batubara sebesar US$ 53,80 per ton. Selain itu, bisnis batubara juga terkena hantaman dari perlambatan pertumbuhan ekonomi China. Maklum, Negara Panda merupakan negara pengguna batubara terbesar di dunia.
Analis Mandiri Sekuritas Arianto Kurniawan dalam riset pada 9 Maret 2015 mengungkapkan, di tahun 2015-2016 ia memotong perkiraan rata-rata laba bersih perusahaan batubara sekitar 45%. Sebab ia melihat harga batubara masih rendah. Arianto bahkan menurunkan asumsi harga batubara dari US$ 80 per ton menjadi US$ 65-US$ 70 per ton.
Yasmin menambahkan, emiten batubara harus berupaya melakukan efisiensi dan diversifikasi bisnis agar kinerja mereka bisa tetap tumbuh. Beberapa emiten telah melakukan hal tersebut dengan membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), seperti yang dilakukan ADRO dan INDY.
Hans juga melihat, diversifikasi dapat memberi nilai tambah bagi perusahaan saat harga batubara rendah. Ariyanto merekomendasikan netral untuk sektor batubara. Sementara Yasmin merekomendasikan tahan atau hold untuk saham ADRO dan ITMG.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News