kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.468.000   -2.000   -0,14%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Menakar prospek emiten saham batubara


Minggu, 12 April 2015 / 22:24 WIB
Menakar prospek emiten saham batubara
ILUSTRASI. McDonalds menyebut, peluncuran produk baru serta permintaan yang stabil karena harga burger dan kentang goreng terjangkau.


Reporter: Sinar Putri S.Utami | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Setelah lima tahun ketentuan wajib menyertakan wajib menyertakan dokumen letter of credit (L/C) dalam kegiatan ekspor dicabut, di tahun ini pemerintahan Jokowi memutuskan untuk memberlakukannya kembali. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 4 tahun 2015 yang mewajibkan ekspor produk strategis menggunakan L/C.

Sebelumnya, Kementerian Perdagangan mewajibkan empat produk ekspor yang berlaku terhadap ketentuan tersebut yakni, minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan minyak inti sawit (CPKO), mineral, batubara, serta minyak dan gas bumi. Namun, pemerintah akhirnya mengecualikan ketentuan wajib L/C ini terhadap keempat komoditas ini selama memenuhi syarat yang ditetapkan.

Namun meski telah diberi celah agar pengusaha mendapatkan pengecualian, para pengusaha masih merasa keberatan akan beleid baru itu. Salah satunya yaitu Asosiasi Pertambangan batubara Indonesia (APBI) yang meminta pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan itu manakala tidak sesuai dengan tujuannya untuk memperbaiki catatan ekspor dalam negeri.

Tak hanya dari sisi pengusaha, hal serupa juga dipandang para analis akan berdampak kurang baik bagi para perusahaan khususnya di bidang bisnis batubara. "Kami memandang peraturan tersebut akan berdampak netral to negatif," ungkap Yasmin Soulisa, Analis BNI Securities kepada KONTAN akhir pekan lalu.

Hal itu dinilainya akan menambah beban perusahaan dari segi waktu dan dana. Pasalnya, mengurus untuk mendapatkan L/C sendiri perusahaan harus menunggu waktu satu hingga dua bulan, belum lagi jika ada masalah administrasi. Sehingga tak menutup kemungkinan, jika nantinya pasokan barang alias inventory perusahaan akan meningkat.

Sementara dari segi biaya, Yasmin menjelaskan, untuk mendapatkan L/C memang dibutuhkan anggaran lebih. Walaupun anggarannya tak terlalu besar, tapi ia menilai hal itu cukup sensitif untuk mempengaruhi keadaan keuangan perusahaan lantaran, mengingat harga batubara saat ini tengah terpuruk. Alhasil ia memperkirakan, dengan adanya peraturan L/C ini akan semakin memberatkan margin perusahaan. "Saat ini margin perusahaan rata-rata menurun dan akan semakin berat," ungkap Yasmin.

Hal yang sama juga diutarakan oleh Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee. Hans bilang hal tersebut akan menyulitkan bagi para perusahaan batubara yang memiliki porsi ekspor yang cukup besar seperti, PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Bumi Resources Tbk (BUMI), dan PT Indika Energy Tbk (INDY). Apalagi di tahun ini menurutnya masih menjadi tahun yang menantang bagi para perusahaan batubara.

"Mulai dari harga batubara yang semakin turun hingga keadaan ekonomi China yang melambat," tutur Hans. Terhitung hingga dari awal tahun alias secara year to date, harga batubara menurun 8,89%. Adapun di akhir pekan, harga batubara berada di level US$ 53,80 per metrik ton (MT). Selain itu, keadaan ekonomi China yang tengah melambat ini turut mempengaruhi laju bisnis batubara. Maklum, China merupakan negara sebagai pengguna batubara terbesar di dunia.

Serupa, Analis Mandiri Sekuritas Arianto Kurniawan juga mengungkapkan tahun ini merupakan tahun yang sulit bagi bisnis batubara. "Di tahun 2015-2016 kami memotong perkiraan rata-rata laba bersih perusahaan sebesar 45%," tulis dia dalam riset pada 9 Maret 2015. Hal itu dilakukan karena ia melihat harga batubara masih belum bisa bertenaga untuk naik. Bahkan, Ariyanto juga menurunkan asumsi harga batubara di tahun ini dari awalnya US$ 80 per ton menjadi US$ 65 - US$ 70 per ton.

Dengan demikian, Yasmin berharap para perusahaan dapat melakukan efisiensi operasional dan diversifikasi bisnis agar kinerja perusahaan tetap terjaga. Nah, salah satu diversifikasi bisnis yang dinilai Yasmin dapat berbuah manis diantara harga batubara yang turun adalah bisnis Pembangkit Listrik tenaga Uap (PLTU). Seperti diketahui bersama saat ini para perusahaan tengah gencar berekspansi di bisnis itu.

ADRO contohnya, perusahaan berencana untuk membangun dua PLTU yang berlokasi di Kalimantan Selatan dan Kawa Tengah. keduanya juga memiliki kapasitas PLTU masing-masing sebesar 2x100 mega watt (MW). Tak hanya itu, INDY juga berencana membangun PLTU berkapasitas 1.000 MW di Cirebon, jawa Barat. INDY sendiri melakukan kerjasama dengan Murabeni Corporation, Korea Midland Power, dan Samtan Corporation untuk membangun PLTU-nya.

Hans juga bilang, diversifikasi bisnis di bidang PLTU ini cukup positif. Pasalnya dapat menambah edit value perusahaan lewat menjual listrik ke PLN. "Apalagi mengingat, saat ini kebutuhan listrik di Indonesia masih cukup tinggi terlebih di kawasan pelosok," tukasnya. Kendati demikian, ada tantangan tersendiri bagi perusahaan yang akan menjalankan bisnis ini yakni dari sisi biaya. Hans bilang untuk membangun satu PLTU perusahaan harus mengeluarkan dana investasi yang tak sedikit dan memakan waktu yang cukup lama.

Lantaran masih menunggu pemulihan dalam harga batubara Ariyanto merekomendasikan netral untuk sektor batubara. Sementara Yasmin merekomendasikan hold untuk saham ADRO dan ITMG.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×