Reporter: Juwita Aldiani | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. PT United Tractors Tbk (UNTR) terus memperkuat bisnis konstruksi dan pembangkit listrik. Langkah ini demi menyiasati lesunya bisnis alat berat dan komoditas batubara.
Di bisnis pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), UNTR akan bekerjasama dengan dua mitranya, Sumitomo Corporation dan Kansai Electric Power, menggarap proyek pembangkit listrik di Jepara, Jawa Tengah.
Proses financial closing ditargetkan dalam waktu dekat. PLTU ini akan menjual listrik ke PLN dengan durasi kontrak 25 tahun. Di bisnis konstruksi, UNTR menggeber proyek melalui PT Karya Supra Prakasa, yang menguasai 50,1% saham PT Acset Indonusa Tbk (ACST).
Analis Minna Padi Investama Christian Saortua menilai, strategi diversifikasi usaha sebenarnya baik. Apalagi pemerintah tengah menggenjot sektor infrastruktur dan konstruksi. Selain itu, "Bisnis pembangkit listrik juga sedang marak, apalagi dengan strategi pembangkit listrik mulut tambang," kata dia, kepada KONTAN, Rabu (7/9).
Meski demikian, menurut Christian, investasi pembangkit listrik cukup mahal, oleh karena itu benefitnya baru bisa dirasakan dalam jangka panjang. Jika struktur pembiayaan yang digunakan kurang optimal, bisa membebani kinerja keuangan UNTR.
Analis BNI Securities, Thennesia Debora mengatakan, efek diversifikasi bisnis pembangkit listrik mungkin baru bisa terasa tahun depan setelah semuanya beroperasi. Di bisnis konstruksi, UNTR sudah merasakannya di semester pertama tahun ini meski porsinya belum besar.
"Jadi, sampai akhir tahun ini bisnis yang berhubungan dengan batubara sebagai bisnis utama UNTR masih berkontribusi paling besar," kata dia.
Dari total pendapatan UNTR, sektor tambang berkontribusi 61%. Adapun sisanya berasal dari penjualan alat berat untuk konstruksi dan kontraktor pertambangan oleh anak usahanya PT Pamapersada Nusantara, serta proyek konstruksi dari ACST.
Thennesia menilai harga batubara yang masih di level rendah menjadi faktor penekan kinerja perseroan di semester pertama. Namun, di semester kedua, penjualan alat berat merek Komatsu untuk pertambangan dan konstruksi masih bisa bertumbuh.
Apalagi untuk konstruksi, penjualan alat beratnya ditopang proyek ACST.
Thennesia memproyeksikan, sampai akhir tahun 2016 UNTR bisa mengantongi laba bersih Rp 5,5 triliun dan pendapatan Rp 48 triliun. Selain harga batubara yang menahan UNTR, penurunan rupiah juga perlu dicermati.
Analis Mandiri Sekuritas Ariyanto Kurniawan dalam risetnya percaya penjualan dari sektor konstruksi menjadi kunci pertumbuhan UNTR karena belum ada pemulihan dari sektor pertambangan.
Ariyanto masih mempertahankan rekomendasi sell UNTR dengan target Rp 11.000 per saham. Thennesia merekomendasikan hold dengan target Rp 16.200.
Christian juga merekomendasikan hold dengan target Rp 19.500. Harga UNTR kemarin turun 2,86% ke Rp 18.700 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News