Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. IDX Technology mencatatkan penurunan paling dalam di antara indeks sektoral di Bursa Efek Indonesia (BEI). Mengutip data BEI, indeks sektor teknologi ini turun 12,11%.
Di sisi lain, sektor yang yang terkait teknologi, seperti saham bank digital masih diburu pelaku pasar. Hal itu terlihat dari harga saham PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) naik 47,21% dan PT Bank Jago Tbk (ARTO) naik 14,69%. Sementara, saham bank digital yang mencatatkan kinerja paling rendah dari PT Bank Raya Indonesia Tbk (AGRO) yang turun 30,94%
Sebaliknya, saham teknologi mayoritas mencatatkan harga saham merah. Hanya PT Metrodata Electronic Tbk (MTDL) yang mencatatkan kenaikan harga saham 2,09% ytd. Adapun penurunan paling dalam datang dari PT Indosterling Technomedia Tbk (TECH) sebesar 43,97%,
Kemudian, disusul PT Kioson Komersial Indonesia Tbk (KIOS) 31,43%, PT Anabatic Technologies Tbk (ATIC) 23,75%, PT Distribusi Voucher Nusantara Tbk (DIVA) 21,63%, dan PT NFC Indonesia Tbk (NFCX) turun 18,99%.
Baca Juga: Wall Street Tumbang di Awal Pekan, Nasdaq Merosot Lebih Dari 2%
Analis Investindo Nusantara Sekuritas, Pandu Dewanto mengatakan, saham teknologi turun karena adanya rotasi sektor yang terjadi juga secara global, tidak hanya di Indonesia. Tercermin pada pergerakan indeks Nasdaq yang memimpin penurunan, terutama sejak akhir tahun lalu ketika Federal Reserve menyatakan tapering yang akan disusul kenaikan suku bunga yang diperkirakan akan dimulai bulan Maret.
"Sehingga memicu aksi profit taking dari growth stock termasuk teknologi, yang mana sudah naik cukup kencang sebelumnya," kata Pandu kepada Kontan.co.id, Senin (24/1).
Menurut Pandu, sumber pertumbuhan sektor teknologi biasanya adalah pendanaan, biasa disebut burn rate. Perusahaan akan melakukan bakar uang untuk menggenjot jumlah user. Menurut dia, hal ini menjadi faktor utama pertumbuhan luar biasa emiten teknologi selama ini.
"Tanpa promosi yang jor-joran tentu akan sangat lama untuk meningkatkan jumlah user. Selain itu kondisi suku bunga yang rendah seperti belakangan ini juga menguntungkan sektor teknologi karena membuat investor banyak memilih berinvestasi ke banyak startup atau sektor teknologi di tengah terbatasnya pilihan alternatif investasi," imbuh Pandu.
Baca Juga: IHSG Lesu, Sentimen Ini yang Memberatkan
Dia menambahkan, pandemi telah menyebabkan perusahaan nonteknologi terpuruk dan masih dalam pemulihan hingga saat ini. Sehingga hanya saham teknologi atau new economy yang masih cenderung bertahan. Suku bunga rendah juga menyebabkan investasi pendapatan tetap seperti obligasi dan deposito memberikan imbal hasil yang lebih rendah.
Nah, yang membedakan antara saham yang murni teknologi dengan bank digital yaitu adanya aksi korporasi, salah satunya rights issue. Tambahan modal berasal dari investor yang kuat, contohnya seperti ekosistem grup GoTo di saham ARTO dan ekosistem gabungan grup CT-Salim-Bukalapak-Grab-Traveloka dan kemungkinan masih ada potensi investor besar dr China yang menyusul akan bergabung dalam waktu dekat pada saham BBHI.
Masuknya para investor besar ini membuka sejumlah peluang kolaborasi networking beserta dukungan modal untuk memicu pengembangan produk secara lebih cepat. Sehingga investor cenderung melihat prospek di masa mendatang meski secara kinerja keuangan belum terlalu signifikan karena masih dalam tahap transformasi bisnisnya.
Baca Juga: Sudah Melemah 1,06%, IHSG Diproyeksi Rebound pada Selasa (25/1)
Secara valuasi, saham-saham teknologi sampai saat ini rata-rata masih cukup mahal jika dibandingkan dengan dengan sektor lain sehingga potensi turun masih cukup besar, mengingat kenaikan sebelumnya juga sudah luar biasa tinggi. Apalagi belum ada katalis yang kuat hingga saat ini untuk kembali membawa sektor teknologi kembali bergerak agresif.
"Pasar kemungkinan masih menunggu perkembangan IPO sektor teknologi seperti GoTo yang digadang-gadang menjadi terbesar sehingga diharapkan mampu mendongkrak capital inflow ke sektor ini, terutama dari asing," kata Pandu.
Oleh karena itu, dia menyarankan pelaku pasar sebaiknya melakukan profit taking mengikuti tren yang terjadi pada pasar. Karena umumnya saham apapun akan bergerak mengikuti perkembangan kinerjanya, terutama dilihat dari pendapatan dan laba.
Dari lima saham teknologi yang mencatatkan kinerja saham yang rendah, jika dilihat dari kinerja operasional, sebenarnya masih relatif mahal secara valuasi. Rasio PE dan PBV jauh di atas rata-rata saham lain dan juga pertumbuhan pendapatan juga bisa dikatakan tidak terlalu signifikan.
"Jadi kenaikan selama ini belum didukung oleh fundamental masing-masing, cenderung hanya didorong oleh capital inflow yang sifatnya lebih spekulatif karena melihat tren yang terjadi secara global," paparnya.
Baca Juga: Mencermati Saham-Saham LQ45 Menjelang Rebalancing
Namun, dia menilai sektor teknologi rata-rata memiliki karakter yang cepat berubah. Jika sukses bisa mendadak memperoleh banyak pendanaan kemudian melakukan ekspansi secara masif. Sebaliknya jika gagal akan cepat terlupakan sehingga jumlah user akan drop secara drastis karena ditinggalkan.
Hal itu, menurutnya, menyebabkan perhitungan harga wajar menjadi tidak terlalu penting karena dapat berubah dengan cepat. Sehingga dia menyarankan cukup perhatikan tren dan momentumnya karena berdasarkan pengalaman selama ini jarang terjadi tren yang berlangsung kuat hingga bertahun-tahun, kecuali naiknya perlahan.
Untuk bisa kembali bangkit, Pandu melihat perlu katalis yang kuat seperti IPO GoTo yang meningkatkan minat investor kembali ke saham teknologi. Selain itu juga diperhatikan dari potensi aksi korporasi masing-masing emiten, karena banyak sekali investor global yang mulai melirik potensi pasar Indonesia dengan pertumbuhan ekonomi digitalnya yang luar biasa.
"Jika belum ada katalis, sebaiknya wait and see dulu karena tekanan jual saat ini masih cukup besar seiring pergeseran minat investor dari saham-saham teknologi," pungkas dia.
Baca Juga: Jelang Penyesuaian, Berikut Saham-Saham yang Berpotensi Keluar dan Masuk Indeks LQ45
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News