Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Federal Reserve (The Fed) diperkirakan akan melanjutkan kenaikan suku bunga, namun dalam jalur yang lambat. Investor masih akan terus memantau data-data ekonomi Amerika Serikat (AS) ke depan termasuk inflasi personal consumption expenditure (PCE) yang bakal dirilis besok, Jumat (24/2).
Chief Analist DCFX Futures Lukman Leong menilai bahwa rilis notula rapat kebijakan moneter The Fed semalam tidak menunjukkan Bank Sentral AS tersebut bakal bersikap hawkish. Di mana, rilis notula rapat kebijakan moneter The Fed bisa memberikan gambaran terkait arah kebijakan The Fed yang akan diambil selanjutnya.
Walaupun The Fed menegaskan tetap dalam jalur kenaikan suku bunga, namun mayoritas pejabat The Fed lebih condong pada kenaikan sebesar 25 bps, bukan 50 bps yang dikhawatirkan. Serangkaian data-data ekonomi AS yang kuat akhir-akhir ini masih membuat investor yakin The Fed tidak akan less agresif ke depan.
"Karena itu, investor akan terus memantau data-data ekonomi AS, dan tentunya data inflasi PCE besok akan sangat penting," ujar Lukman saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (23/2).
Baca Juga: Bertenaga, Rupiah Jisdor Menguat ke Rp 15.187 Per Dolar AS di Kamis (23/2)
Lukman mengatakan, konsensus pasar memperkirakan inflasi core PCE masih akan relatif stabil, naik 0,1 point year on year (YoY) dan turun 0,1 point Month on Month (MoM). Namun, proyeksi kenaikan besar pada spending dari -0,2% menjadi 1,3% dan income dari 0,2% menjadi 1% akan menjadi sorotan penting.
"Kenaikan pada income dan spending The Fed akan menahan penurunan inflasi," jelas Lukman.
Lukman bilang, penguatan dolar AS juga tentunya akan melemahkan rupiah. Namun untuk jangka panjang, depresiasi rupiah diperkirakan tidak akan signifikan. Apabila Indonesia dapat mempertahankan surplus neraca perdagangan dan transaksi berjalan, dengan revisi PP Devisa Hasil Ekspor (DHE) maka rupiah justru berpotensi menguat dalam jangka panjang.
Rupiah diprediksi bakal bergerak pada rentang Rp 14.800 per dolar AS- Rp 15.300 per dolar AS di semester I-2023. Sementara, posisi rupiah di akhir tahun bisa bergerak di rentang Rp 14.500 per dolar AS - Rp 15.000 per dolar AS.
"Rupiah akan menguat di akhir tahun dengan asumsi tidak ada pelarian safe haven yang disebabkan oleh eskalasi geopolitik dan perang," ungkap Lukman.
Lukman tak memungkiri bahwa dolar AS begitu perkasa di hadapan sekeranjang mata uang lainnya. Karena itu, dolar AS pun menjadi pilihan utama dalam berinvestasi valuta asing (valas).
Baca Juga: Tipis, Rupiah Spot Ditutup Menguat ke Rp 15.192 Per Dolar AS Pada Hari Ini (23/2)
Namun, investor juga bisa melirik mata uang Swiss (CHF) yang nampaknya bakal menjadi tujuan safe haven di tengah perlambatan ekonomi global yang memicu sentimen risk off.
Lukman berujar, CHF secara tradisional adalah mata uang safe haven. Swiss juga memiliki surplus neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang besar. Dengan suku bunga acuan sebesar 1% adalah tingkat tertinggi sejak global financial crisis 2008. Inflasi juga relatif rendah 3.3%
"CHF diperkirakan akan menguat hingga 0.88% per dolar AS, secara hitungan seharusnya masih akan lebih kuat dari rupiah," kata Lukman.
Sedangkan, mata uang safe haven lainnya seperti yen Jepang (JPY) dinilai tidak cukup prospektif. Hal tersebut berkaitan dengan kebijakan moneter Bank of Japan (BoJ) saat ini dan mungkin ke depannya masih tidak bisa mendukung penguatan yen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News