Reporter: Kenia Intan | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sepanjang enam bulan pertama 2020, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih berada di zona merah. Sejak awal tahun, IHSG terkoreksi hingga 22,13% ke level 4.905,39, Selasa (30/6).
Sebenarnya, kinerja yang lesu di semester I 2020 juga dialami oleh indeks bursa di ASEAN dan Asia Pasifik. Akan tetapi, IHSG menjadi indeks yang terkoreksi paling dalam. Setelahnya disusul indeks bursa Filipina (PSei) sebesar 20% year to date (ytd) dan indeks bursa Singapura (STI) hingga 19,27% ytd.
Sementara itu, penurunan paling mini dicatatkan oleh indeks Shanghai sebesar 2,15% ytd. Setelahnya disusul indeks bursa Taiwan (Taiex) yang terkoreksi 3,13% ytd. Di posisi ketiga, ada indeks bursa Korea Selatan (Kospi) yang menurun 4,07% ytd.
Baca Juga: Mengukur efek rilis data PMI manufaktur dan inflasi Juni
Analis MNC Sekuritas Herditya Wicaksana menjelaskan, pandemi Covid-19 yang melanda dunia menjadi penyebab penurunan indeks bursa di berbagai negara, termasuk Indonesia. Akan tetapi, IHSG terkikis paling dalam karena pelaku pasar menilai pemulihan ekonomi di berbagai negara lebih cepat dibandingkan di Indonesia.
Indeks Shanghai misalnya, indeks bursa negara di mana pandemi Covid-19 ini bermula hanya terkoreksi 2,15% ytd. Menurut data RTI Business, indeks Shanghai menunjukkan penguatan sejak menyentuh level terendahnya di 2.646,805 pada bulan April 2020.
"Dapat kita perhatikan bahwa recovery ekonomi dan penanganan Covid-19 di China lebih cepat dibandingkan di Indonesia," kata Herditya kepada Kontan.co.id, Rabu (1/7).
Baca Juga: Turun 22,13% sepanjang semester I 2020, IHSG paling jeblok di Asia Pasifik
Di sisi lain, berbagai rilis data sepanjang semester I 2020 yang kurang baik mengurangi daya tarik IHSG di mata pelaku pasar. Walaupun di bulan Maret dan April terjadi inflow asing yang cukup besar, hal ini belum mampu menyelamatkan IHSG dari peringkat terbawah indeks bursa se-Asia Pasifik.
Tidak jauh berbeda, Head of Research FAC Sekuritas Indonesia Wisnu Prambudi Wibowo berpendapat, IHSG menjadi indeks yang paling lesu karena investor asing masih mencatatkan aksi jual bersih (net sell) di semester I 2020. Di tambah lagi, perilaku investor lokal bukanlah jangka panjang. Sehingga ketika pasar tertekan, investor cenderung ikut menjual saham-sahamnya.
Wisnu juga mengamati, stimulus dari pemerintah Indonesia yang belum berjalan dengan baik menjadi faktor lain penekan IHSG. "Kalau kita lihat kebijakan fiskal dan moneternya belum ter-delivery dengan baik di sektor riil," ungkap Wisnu kepada Kontan.co.id, Rabu (1/7).
Baca Juga: IHSG naik tipis ke 4.914 pada akhir perdagangan Rabu (1/7)
Di sisi lain, hingga saat ini Indonesia masih mencatatkan penambahan jumlah pasien Covid-19. Ini berbeda dengan China yang mampu menekan penambahan jumlah pasien positif Covid-19. Kondisi inilah yang dianggap memperingan penurunan indeks Shanghai.
Untuk semester II, Wisnu berpendapat IHSG berpeluang untuk menguat. Sebab, belanja pemerintah terkait pandemi Covid-19 akan lebih banyak terealisasi di kuartal III dan kuartal IV, terlebih di akhir tahun. "Setidaknya ada peluang tidak menjadi indeks yang turun terdalam se-Asia Pasifik," ujar dia.
Sementara itu, Herditya berpendapat, di semester II IHSG cenderung bergerak sideways dan tidak menutup kemungkinan adanya penguatan atau koreksi. Secara mingguan, pelaku pasar bisa memperhatikan level support terdekat di 4.460 dan level resistance di 5.140.
Baca Juga: IPO Pakuan: Didirikan Ali Sadikin, Jadi BUMD DKI Jakarta, Dulu Dimiliki Paulus Tannos
"Untuk akhir tahun,IHSG tidak akan terlalu jauh dari penutupan tahun 2019," imbuh Herditya. Adapun Wisnu memperkirakan IHSG setidaknya mampu berada di atas level 5.100 sepanjang semester II.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News