Reporter: Grace Olivia | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kurs mata uang rupiah tampaknya masih belum bisa lolos dari tekanan. Kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve pekan lalu masih bakal menekan pergerakan kurs rupiah.
Apalagi, nilai tukar dollar Amerika Serikat (AS) juga masih cenderung menguat. Kemarin, indeks dollar Amerika Serikat (AS) kembali melonjak. Per pukul 18.50 WIB, indeks dollar AS berada di posisi 95,21 atau naik 0,48% dari posisi pada hari sebelumnya. Mengutip investing.com, per pukul 20.50 WIB kemarin, kurs rupiah sudah mencapai Rp 14.140 per dollar AS.
Meski sudah diantisipasi sejak jauh hari, Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengatakan, kenaikan suku bunga acuan AS tetap membuat rupiah bergejolak. "Respons di pasar Indonesia terlambat dibanding pasar negara lain, khususnya emerging market, karena tutup libur," jelas dia, kemarin.
Tak hanya itu, dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 13 Juni lalu, The Fed kembali menegaskan rencananya menaikkan suku bunga acuan secara agresif tahun ini. The Fed berpotensi menaikkan suku bunga dua kali lagi tahun ini. Kenaikan itu bakal kembali menekan kurs rupiah.
Head of Economics & Research Finance and Corporate Service UOB Indonesia Enrico Tanudwidjaja memaparkan, mata uang negara-negara emerging market memang cenderung melemah akibat pernyataan The Fed yang hawksih.
Menurut dia, salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat pelemahan mata uang negara emerging market adalah posisi current account yang dimiliki negara tersebut.Jika current account negara tersebut masih defisit, otomatis koreksi tak terelakan.
Bersama dengan India, Indonesia menjadi negara yang kurs mata uang paling merosot saat merespons kenaikan suku bunga acuan AS. Analis Asia Tradepoint Futures Andri Hardianto menilai, hal tersebut terjadi lantaran Indonesia dan India merupakan negara emerging market yang menikmati aliran dana asing terbesar selama ini.
"Indonesia dan India keduanya negara dengan pertumbuhan ekonomi cukup stabil dan mengandalkan komoditas, dana asing yang masuk ke pasarnya lebih besar," jelas Andri. Oleh karena itu, saat suku bunga AS naik, aliran dana asing yang keluar pun besar dan berpengaruh signifikan terhadap pasar.
Di samping itu, Andri menuturkan, pelaku pasar juga cenderung meninggalkan Indonesia lantaran mengkhawatirkan pengelolaan fiskal, antara lain terkait tingkat utang pemerintah dan swasta yang kian membengkak. Agar dapat menghadapi kenaikan suku bunga The Fed selanjutnya, nilai tukar rupiah perlu disokong data perekonomian yang positif, seperti neraca dagang, inflasi dan pertumbuhan kredit yang membaik.
Lana menilai, Bank Indonesia masih perlu terus melakukan intervensi untuk menahan pelemahan rupiah. Ia menilai langkah stabilisasi dengan menaikkan suku bunga acuan atau 7-days reverse repo rate pada Rapat Dewan Gubernur 28 Juni mendatang, bisa jadi pilihan. "Risiko ke sektor riil memang pasti ada, terutama ke perekonomian, karena perusahaan jadi makin berat melakukan ekspansi. Tapi, kenaikan suku bunga penting untuk menstabilkan nilai tukar," ungkap Lana.
Konflik perang dagang antara AS dan China yang kembali mencuat juga dapat menyeret rupiah. "Sejak perang dagang mencuat, harga komoditas seperti nikel, tembaga dan timah, cenderung melemah. Sementara itu merupakan komoditas andalan Indonesia," jelas Andri.
Kendati demikan, Andri berharap pelemahan mata uang Garuda ini hanya sementara. Pelaku pasar wajib melihat kondisi fundamental domestik Indonesia yang sejauh ini masih cukup baik. Ini terlihat dari keberhasilan pemerintah meredam harga pangan selama Ramadan, sehingga inflasi terkendali. Dalam jangka panjang, pemerintah perlu membuat kebijakan fiskal yang positif.
Sampai akhir tahun nanti, Lana memprediksi rupiah tidak akan bergerak jauh dari level Rp 14.100 per dollar AS. Andri lebih optimistis dan memprediksi rupiah akan menguat ke Rp 13.700 per dollar AS di akhir tahun 2018.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News