Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tekanan pada pasar kripto dinilai sebagai suatu kewajaran. Industri aset digital ini tengah bertumbuh sebagai instrumen investasi baru.
Timothius Martin, Chief Marketing Officer PINTU mengatakan bahwa terdapat berbagai faktor yang menyebabkan nilai kripto tertekan. Sejumlah faktor ini antara lain kenaikan suku bunga The Fed, inflasi global, dan melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Di luar hal itu, kejatuhan dari perusahaan kripto ternama seperti FTX turut melemahkan pasar kripto. "Faktor-faktor ini memberikan tekanan terhadap seluruh harga aset crypto," ungkap Timothius kepada Kontan.co.id, Selasa (20/12).
Dia menambahkan bahwa kasus jatuhnya FTX mempengaruhi kepercayaan publik terhadap cryptocurrency secara umum. Lihat saja beberapa mata uang kripto yang sudah semakin terbenam.
Baca Juga: Kemenkeu Telah Kantongi Pajak Fintech dan Kripto Sebesar Rp 441,55 Miliar
Mengutip Coinmarketcap Selasa (20/12) pukul 16.18 WIB, harga Bitcoin telah anjlok 65,61% secara tahunan ke level US$ 16l.821. Harga Ether juga tertekan 69,89% secara tahunan ke level US$ 1.209.
Namun, Timothius mengatakan, keruntuhan FTX karena masalah likuiditas juga akan menjadi pelajaran untuk industri kripto. Sehingga industri kripto bisa menjadi lebih baik lagi dalam hal transparansi, regulasi, dan juga perlindungan konsumen.
Saat ini aset kripto dinilai terus berkembang dari sisi adopsi dan juga inovasi. Perkembangan paling signifikan bisa terlihat di Indonesia khususnya dalam meningkatnya jumlah investor aset kripto mencapai lebih dari 16 juta orang.
"Saya bahkan melihat pertumbuhan positif ini akan terus terjadi di tahun-tahun berikutnya meskipun terdapat beberapa peristiwa yang masih membayangi," papar Timothius.
Baca Juga: Gejolak Belum Berakhir, Pasar Kripto Masih akan Terguncang di Tahun 2023
Terlebih, Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup terdepan jika dibandingkan negara-negara lainnya di Asia, mulai dari peraturan pajak, travel rule, anti-money laundry, hingga Central Bank Digital Currency (CBDC).
Menurut Timothius, seluruh peraturan atau regulasi terkait industri keuangan digital dan kripto di Indonesia cukup baik dan memiliki peranan yang kolaboratif antar berbagai pihak, antara lain regulator, pelaku usaha, asosiasi, hingga masyarakat.
Kendati demikian, dia berpesan bahwa sebagai investor tetap harus bisa memahami berbagai faktor risiko yang bisa timbul baik dari sisi makro ekonomi, proyek fundamental atau aset, dan keadaan teknikal pasar.
Selain itu, di masa crypto winter dan kemungkinan akan terjadinya resesi, sangat penting untuk bisa lebih disiplin dalam mengatur keuangan. Investor sebaiknya menggunakan metode terstruktur seperti dollar cost averaging (DCA) yang dapat membantu mengurangi risiko investasi dalam jangka panjang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News