Reporter: Rashif Usman | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat ada 41 perusahaan yang melantai di bursa melalui penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO). Total dana yang dihimpun mencapai US$ 903 juta pada tahun lalu.
Angka ini mengalami penurunan signifikan dibandingkan tahun 2023, yang mencatat 79 saham IPO dengan perolehan dana sebesar US$ 3,6 miliar.
Berdasarkan riset dari Deloitte, sebagian besar IPO pada 2024 dilakukan oleh perusahaan berukuran lebih kecil dengan target pendanaan yang lebih konservatif, mengingat ketidakpastian yang disebabkan oleh tahun politik serta tekanan dari kondisi pasar global.
Namun, riset tersebut menyebutkan aktivitas IPO mulai kembali normal menjelang akhir tahun seiring dengan semakin jelasnya arah kebijakan domestik setelah pelantikan Presiden baru dan kepastian terkait inisiatif strategis nasional.
Baca Juga: IHSG Menguat, Cek Rekomendasi Teknikal Saham SMGR, ARTO, AMRT Untuk Rabu (19/2)
Nah pada tahun 2025, sejauh ini BEI mencatat ada 20 perusahaan dalam pipe line pencatatan saham. Secara rinci, satu perusahaan memiliki aset skala menengah antara Rp 50 miliar hingga Rp 250 miliar dan 19 perusahaan aset berskala besar di atas Rp 250 miliar. Pada Januari 2025, tercatat ada 8 perusahaan yang melantai di bursa.
Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas memproyeksikan calon emiten yang akan IPO di 2025 berpotensi lebih meriah dibandingkan 2024.
Pasalnya, setelah melewati tahun politik dan ketidakpastian diperkirakan mereda, sejumlah perusahaan memiliki gambaran yang lebih jelas mengenai arah ekonomi, peluang, serta risiko yang ada.
Sukarno mengungkapkan ada beberapa perusahaan yang ramai dikabarkan akan melantai di bursa antara lain PT Chandra Daya Investasi dan PT Griya Idola yang bernaung di bawah konglomerat Prajogo Pangestu, PT Blu BCA dari Grup BCA, serta PT Super Bank dan PT Vidio Dot Com yang merupakan bagian dari Grup EMTK.
Sementara itu, dari sektor Badan Usaha Milik Negara (BUMN), terdapat nama-nama seperti PT Pertamina Hulu Energi dan PT Pupuk Kaltim, yang juga disebut-sebut bakal melenggang ke bursa.
Baca Juga: 86 Emiten Terancam Suspensi Jika Tak Lunasi Listing Fee
"Saham-saham yang terafiliasi konglomerasi masih akan menjadi pilihan utama bagi investor, terutama konglomerasi yang secara historical memberikan kinerja saham yang signifikan dari harga IPO-nya," kata Sukarno kepada Kontan, Selasa (18/2).
Menurutnya, minat pasar terhadap saham IPO tetap tinggi, sehingga peluang penghimpunan dana dalam jumlah besar masih terbuka. Namun, tantangan utama yang perlu diperhatikan adalah sentimen negatif dari faktor eksternal yang dapat memengaruhi pasar.
Sebagai strategi investasi, Sukarno menyarankan untuk memilih saham dengan fundamental yang solid dan potensi dividen tinggi. Alternatif lainnya adalah berinvestasi pada saham konglomerasi yang secara historis mampu memberikan return besar atau memiliki probabilitas keberhasilan IPO di atas 70%.
Community Lead PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Angga Septianus, menambahkan bahwa meriahnya IPO di 2025 sangat bergantung pada kondisi pasar. Saat ini, pasar masih menghadapi ketidakstabilan akibat faktor geopolitik, perang dagang, serta potensi penurunan suku bunga yang diperkirakan hanya terjadi sekali dalam tahun ini.
"Sehingga prospek IPO menjadi lebih redup karena potensi dana yang didapatkan akan menurun karena antusiasme pasar menurun juga," ucap Angga kepada Kontan, Selasa (18/2).
Meski demikian, Angga menilai PT Chandra Daya Investasi (CDI), anak usaha dari PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) , sebagai salah satu perusahaan yang menarik untuk dinantikan saat melantai di bursa.
Baca Juga: Short Selling Diterapkan, Sebaiknya Aturan Aturan Uptrick Rule Tetap Dipertahankan
Angga juga menekankan saham-saham dari grup konglomerasi juga tetap menjadi pilihan menarik bagi investor, mengingat kepentingan jangka panjang mereka dalam menjaga stabilitas harga saham serta potensi pertumbuhan yang lebih terjaga.
Head of Investment Specialist PT Maybank Sekuritas Indonesia Fath Aliansyah Budiman menyampaikan saat ini pelaku pasar melihat saham-saham yang terkorelasi pada suatu emiten terutama konglomerasi memiliki tingkat probabilitas yang cukup tinggi ketika anak perusahaan atau perusahaan terafiliasi melakukan IPO.
"Memang tidak ada jaminan kenaikan, tapi sejauh ini saham-saham tersebut memiliki performa yang baik," kata Fath kepada Kontan, Selasa (18/2).
Namun, tantangan bagi investor adalah keterbatasan jumlah penjatahan saham yang diperoleh saat IPO. Oleh karena itu, strategi yang dapat diterapkan ialah menambah kepemilikan melalui pasar sekunder pasca-IPO, dengan tetap mempertimbangkan valuasi serta prospek kinerja perusahaan ke depan.
Selanjutnya: Trump Berencana Ganti Nama Greenland Jadi Red, White, and Blueland Jika Sukses Dibeli
Menarik Dibaca: Hati-hati Klaim Saldo Dana Kaget! Ini Cara Cari Uang Aman di Instagram
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News