Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menentukan profil risiko merupakan salah satu poin penting yang harus dipilih oleh para investor. Langkah ini dilakukan agar investor bisa menyesuaikan instrumen apa yang cocok untuk berinvestasi.
Hal inilah yang dilakukan oleh Direktur Komersial dan Logistik PT Cemido Gemilang Tbk (CMNT) Surindro Kalbu Adi di awal dirinya menentukan instrumen investasi. Sejak awal, Surindro memilih instrumen investasi yang cenderung konsevatif.
Surindro mengaku mulai bekerja sekitar 23 tahun yang lalu. Pada 2001, Surindro memulai kariernya di Indomarco melalui program management trainee. Hingga akhirnya masuk ke industri semen di tahun 2015.
“Saya saat itu masuk ke Lafarge dan jabatan terakhir saya di sana adalah Direktur Komersial. Setelah Lafarge-Holcim dijual, saya pun pindah ke Cemindo Gemilang,” ujarnya saat ditemui Kontan beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Johannes Suriadjaja: Mengatur Portofolio Investasi Butuh Seni dan Kesabaran
Lulusan Universitas 17 Agustus Surabaya jurusan ekonomi itu melihat investasi sebagai cara untuk menghargai hasil kerja sendiri. Namun, Surindro tidak mau langkahnya dalam berinvestasi mengganggu waktunya dalam bekerja.
Itulah yang menjadi alasan utama mengapa Surindro lebih memilih instrumen yang konservatif dan lebih fokus dalam bekerja.
“Saya suka memilih instrumen investasi yang bisa autopilot. Maksudnya, yang tidak perlu saya cek setiap hari, karena investasi terbesar saya ada di karier saya,” ungkapnya.
Kali pertama Surindro terjun ke dunia investasi adalah di tahun 2007-2008. Instrumen investasi pertama yang dimiliki Surindro adalah aset properti dalam bentuk rumah dan ruko. Alasannya, aset properti mudah didapatkan dan pengetahuan Surindro akan jenis instrumen investasi masih terbatas.
“Pada tahun 2008 itu, membicarakan instrumen saham itu risikonya sudah tinggi. Sebab, saat itu belum ada akses informasi yang luas dan sistem yang mendukung untuk investasi di saham. Alhasil, yang paling aman baru aset properti,” tuturnya.
Baca Juga: CEO Samcro Hyosung Investasi Saham Untuk Jangka Panjang
Surindro mengaku aset properti yang dia beli di tahun 2008 masih menghasilkan keuntungan untuk dirinya hingga saat ini.
Ketika ponsel pintar berbasis android dan iOS mulai mudah dimiliki semua orang, Surindro mengaku jadi punya akses lebih untuk mempelajari instrumen investasi lainnya, termasuk membeli saham via daring.
Di awal-awal masuk dunia investasi, Surindro juga sering membaca buku terkait investasi. Salah satu buku yang membekas dalam proses perjalanan investasinya adalah Rich Dad Poor Dad dari Robert T. Kiyosaki.
Tak jarang Surindro ikut langsung seminar edukasi terkait investasi. Dia juga bergabung dengan komunitas investor.
“Tetapi, sekarang saya juga sudah mulai cari referensi video edukasi di YouTube dan media sosial,” tuturnya.
Baca Juga: THR Turun, CEO Indodax Ingatkan Gunakan Uang Dingin Untuk Investasi Kripto
Ada empat indikator utama yang dilihat Surindro dalam memilih instrumen investasi, yaitu waktu dan operasi yang tidak rumit, keamanan, likuiditas, dan return on investment (ROI). Dengan indikator-indikator tersebut, Surindro pun melakukan diversifikasi portofolio investasi miliknya.
Oleh karena itu, instrumen pilihan Surindro adalah aset properti, reksadana, emas, dan saham. Secara persentase, sebesar 40% instrumen investasi Surindro berupa aset properti dalam bentuk rumah, ruko, apartemen, dan tanah. Lalu, sebesar 40% ditaruh di reksadana dan emas, serta sisanya 20% ada di saham.
Meskipun sudah memantapkan pilihan di keempat instrumen tersebut, bukan berarti Surindro tidak tertarik mencoba aset investasi lain. Surindro juga pernah berinvestasi di kripto, khususnya bitcoin dan Doge Coin.
Dia beli Dogecoin di tahun 2019 sebesar Rp 50 juta, tetapi mampu mendapatkan untung sampai Rp 2,5 miliar dalam waktu sekitar satu tahun. Hal itu didorong sentimen promosi dari Elon Musk.
Baca Juga: Direktur Metropolitan Land (MTLA) Olivia Surodjo Memetik Hasil Disiplin Investasi
Di rentang waktu yang sama, Surindro juga sempat beli Bitcoin di level US$ 20.000 dan berhasil menjualnya di level US$ 56.000.
“Saya sudah pegang Dogecoin jauh sebelum promosi dari Elon Musk. Saya memang mengoleksi koin-koin ‘receh’ saat itu, selain pegang Bitcoin,” paparnya.
Namun, pada tahun 2022, Bitcoin sempat turun hingga di bawah US$ 30.000 dalam waktu tujuh hari tanpa sentimen yang jelas. Hal ini membuat Surindro melihat bahwa tidak ada fundamental yang pasti terkait pergerakan kripto.
“Setelah saya lihat itu, semua aset kripto saya saat itu langsung dijual. Posisinya rugi sedikit saja. Tetapi, masih banyak untungnya dalam tiga tahun terakhir,” ungkapnya.
Dengan perjalanan yang sudah dilewati, Surindro meyakini bahwa investor pemula harus bisa mengenali diri sendiri terlebih dahulu sebelum memilih aset yang tepat. Para investor juga tak perlu sampai memaksakan diri untuk berinvestasi di instrumen yang hanya akan menjadi beban.
“Pikirkan juga terkait likuiditas, agar aset investasi ini juga bisa membantu keuangan kita di saat-saat genting,” pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News