kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.505.000   -15.000   -0,99%
  • USD/IDR 16.291   -196,00   -1,22%
  • IDX 6.996   -111,73   -1,57%
  • KOMPAS100 1.044   -20,00   -1,88%
  • LQ45 819   -14,63   -1,75%
  • ISSI 213   -3,40   -1,57%
  • IDX30 418   -8,05   -1,89%
  • IDXHIDIV20 505   -8,78   -1,71%
  • IDX80 119   -2,34   -1,93%
  • IDXV30 125   -2,03   -1,60%
  • IDXQ30 140   -2,31   -1,63%

Strategi Investasi Direktur Utama Hatten Bali (WINE): Selektif Memilih Aset Produktif


Sabtu, 09 September 2023 / 07:05 WIB
Strategi Investasi Direktur Utama Hatten Bali (WINE): Selektif Memilih Aset Produktif
ILUSTRASI. Direktur Utama Hatten Bali (WINE) Ida Bagus Rai Budarsa. Memadukan tradisi dan wirausaha menjadi jalan hidup yang ditempuh oleh Ida Bagus Rai Budarsa.


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memadukan tradisi dan wirausaha menjadi jalan hidup yang ditempuh oleh Ida Bagus Rai Budarsa. Pendiri sekaligus Direktur Utama PT Hatten Bali Tbk (WINE) ini mencurahkan daya upaya untuk mengembangkan bisnis yang telah dirintis oleh orang tuanya.

Pria yang akrab disapa Gus Rai ini mengenang, selepas lulus kuliah dia langsung berkecimpung di dunia usaha bersama sang ayah. Rai pernah menggarap berbagai bidang, mulai dari bisnis garmen hingga tambak bandeng.

Dari sederet bisnis yang dia geluti, brem, menjadi produk paling laris yang punya prospek apik. Brem merupakan minuman tradisional Bali yang umumnya terbuat dari fermentasi beras ketan atau tapai.

"Jadi orang tua saya memang sejak tahun 1968 sudah mulai membuat brem. Kemudian tahun 1989 saya tamat kuliah, saya melanjutkan usahanya," kenang Rai.

Baca Juga: Saham-Saham Ini di Bawah Harga Rp 10, Berani Masuk?

Sebagai tangan kanan sang ayah, Rai sudah paham betul bagaimana proses bisnis pembuatan brem, mulai dari bahan baku, pengolahan, hingga pemasaran. Setelah bisa menjalankan usahanya sendiri, Rai tak ingin bisnis yang stagnan.

Sebagai sarjana pertanian lulusan Universitas Brawijaya yang belajar teknologi industri dan pangan, Rai pun mengangkat bisnis bremnya. Dengan modal keilmuan dari bangku kuliah dan praktik wirausaha dari sang ayah, Rai memantapkan langkah untuk merintis bisnis wine.

Namun, dalam mengembangkan usahanya ini, ada jalan terjal yang mesti ditempuh Rai. Tantangan terbesarnya adalah bagaimana meningkatkan (scale up) dari yang semula usaha rumahan (UMKM) menjadi bisnis dengan skala yang lebih tinggi.

Tantangan itulah yang kemudian menjadi paradigma Rai untuk selektif dalam memutar pundi-pundi dananya. Tak hanya memarkir uang di bank atau menjala cuan demi kepentingan diri sendiri, bagi Rai, instrumen investasi mesti sejalan dengan visi mengembangkan bisnis Hatten Bali.

Dus, Rai lebih memilih menggulirkan uangnya dalam bentuk aset-aset produktif. "Jadi kalau investasi di industri finansial, saya nggak terlalu ya. Karena lebih tertarik ke bisnis, buka usaha, dan bagaimana nanti investasi yang saya lakukan itu bisa ikut mengembangkannya," ujar Rai.

Baca Juga: Strategi 90/10 Warren Buffett, Cocok untuk Investasi Tabungan Pensiun

Investasi lahan adalah kunci

Dalam menumbuhkan bisnis wine, faktor paling krusial adalah menjaga kualitas bahan baku, yakni anggur. Awalnya, Rai tak punya kebun sendiri, sehingga ketersediaan anggur tergantung dari pasokan hasil panen petani.

Sayangnya, sulit untuk melakukan standardisasi dan quality control atas hasil panen tersebut. Apalagi untuk research and development dalam pembibitan anggur. Akhirnya Rai berkesimpulan, dia dan Hatten Bali mesti memiliki kebun anggur di lahan sendiri.

Begitu juga untuk kantor dan pabrik, perlu tempat yang tepat agar pemrosesan dan proses bisnis berjalan optimimal. Jadi ketimbang instrumen investasi yang lain, Rai lebih memilih memutar uangnya di aset konvensional berupa properti dan tanah.

Selain itu, di tengah kesibukan dalam bisnis dan operasionalnya, Rai mengaku tidak punya cukup waktu untuk mengulik instrumen investasi di industri keuangan. "Saya mungkin juga kurang tekun. Jadi saya lebih suka (beli) yang langsung terlihat dan bisa digunakan, terutama properti dan lahan," terang Rai.

Baca Juga: Simak Jurus Manajer Investasi Kelola Reksadana Saat Kondisi Pasar Cenderung Risk Off

Tak main-main, lahan untuk perkebunan yang dikelola Hatten Bali sudah mencapai sekitar 20 hektare, yang utamanya berlokasi di daerah Singaraja. Tentu, perlu dicatat bahwa bukan nilai yang mini untuk memiliki lahan seluas itu di Bali saat ini.

Jika sekadar mengejar capital gain, investasi lahan di Bali menawarkan cuan yang menggiurkan. Rai memberikan gambaran, saat pembelian tanah belum seketat sekarang, lonjakan harga tanah di Bali bisa menembus 100% dalam setahun.

Terlebih jika lahan itu berlokasi di wilayah strategis pariwisata. "Sampai tahun 2018 itu harga tanah di Bali naiknya luar biasa, pokoknya beli lalu lepas, pasti untung. Apalagi di daerah favorit turis, misalnya dulu Rp 4 juta per are sekarang mungkin sudah bisa Rp 1 miliar," terang Rai.

Oleh sebab itu, selain produktif untuk usaha, Rai yakin investasi properti dan lahan di Bali tetap memberikan potential profit di masa depan. Jadi tak heran jika 90% portofolio investasi Rai saat ini ada dalam bentuk properti dan tanah.

Sedangkan 10% sisanya berada di instrumen investasi lain, termasuk saham. Dalam aset jenis ini, Rai memilih saham-saham berfundamental apik yang cocok untuk investasi jangka panjang. "Karena tidak sempat lihat setiap hari, jadi saya pilih perusahaan-perusahaan yang bagus," sebut Rai.

Pesan dari Rai, jika berinvestasi sambil mengembangkan usaha, maka menjadi kewajiban untuk menjaga brand produk dan perusahaan maupun relasi bisnis. "Itu investasi yang nilainya sangat penting," tandas Rai.

Baca Juga: Ivan Nikolas Tambunan: Memilih Saham Sebagai Portofolio Utama

Ingin membawa wine Bali mendunia

Ida Bagus Rai Budarsa punya cita-cita untuk membawa wine asal Bali ke panggung dunia. Namun, visi ini tidak serta merta ditampilkan dalam bentuk ekspor sebanyak-banyaknya produk ke pasar mancanegara.

Rai mengatakan, setiap wine memiliki keunikan tersendiri. Rasanya akan tergantung dari tanah tempat anggur di tanam, jenis anggur yang dihasilkan, hingga proses pembuatannya.

"Kalau membandingkan, setiap daerah pasti lain rasanya. Jadi perlu dicermati juga, kalau misalnya wine Bali dijual ke Thailand atau Thailand wine di jual ke Bali, belum tentu akan bisa diterima pasar," kata pria kelahiran Denpasar, 26 Mei 1965 itu.

Sehingga dibandingkan dengan persaingan usaha, para produsen wine terutama dari negara-negara Asia, lebih memilih memperkuat kolaborasi. Maka, terbentuk lah Asian Wine Producers Association (AWPA), yang mana Rai ikut mendirikan organisasi tersebut.

Baca Juga: Klaim Imbal Hasil di Atas Industri, Dirut Taspen Ungkap Strategi Investasi

"Dengan produsen Asia lainnya seperti Thailand, India, Myanmar, kita saling mengunjungi, belajar dari keberhasilan masing-masing. Kalau ada teknologi baru atau konsultan yang bagus, kita saling berbagi rekomendasi," imbuh Rai.

Secara bertahap, ekspansi ke pasar ekspor menjadi bagian dari rencana bisnis WINE. Hanya saja, Rai menegaskan untuk saat ini penguatan di pasar lokal menjadi target utama.

Lagi pula, pasar wine di dalam negeri semakin mendaki. Sejalan dengan bertambahnya kelas menengah-atas dan tren konsumsi wine untuk berinteraksi sosial (social drinker) di Indonesia.

Rai bilang, produk Hatten Bali juga sudah dikenal dan menjadi favorit wisatawan mancanegara, terutama yang sedang melancong ke Bali. "Saat ini fokus di Indonesia dulu. Ke depannya, tentu kami ingin mendunia, apalagi kualitasnya jauh lebih bagus," pungkas Rai.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×