Reporter: Harry Febrian | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Harga alumunium di pasar dunia terbenam banjir pasokan. Pasokan alumunium global, diprediksi akan melampaui kebutuhan, karena China kembali memperbarui rekor produksi tertinggi.
Bloomberg mencatat, produksi aluminium China terus mendaki, kendati para produsen di negara lain sudah mengurangi output.
International Aluminium Institute menghitung, total pengiriman aluminium dunia Februari lalu melesat ke level rata-rata 122.300 metrik ton per hari. Angka tersebut adalah yang tertinggi sejak September 2011.
China tercatat menyumbang 53.400 ton atau hampir 50% dari seluruh produksi di dunia. Sedangkan negara-negara di luar China memproduksi sekitar 68.900 ton.
Citigroup memperkirakan, suplai aluminium akan kembali melampaui permintaan untuk enam tahun berturut-turut. Kapasitas produksi alumunium China yang meningkat hingga 15%, di atas kertas, akan menyebabkan kelebihan output industri di dunia hingga 444.000 ton.
Awal pekan ini kontrak aluminium untuk pengiriman tiga bulanan di London Metal Exchange, naik 0,6% ke harga US$ 2.186 (26/3). Angka itu melemah 17% year-on-year. Namun, dalam perdagangan berikutnya (27/3), harga aluminium menguat tipis menjadi US$ 2.196 per ton.
"Tingkat produksi harian di negara-negara non-China terus merosot, tapi China bisa lebih dari sekedar menutup kekurangan produksi," ujar David Wilson, analis di Citigroup seperti dikutip Bloomberg, Selasa (27/3).
Tunggu Amerika
Menurut David, dengan peningkatan produksi China, pemangkasan produksi yang ditempuh oleh produsen lain menjadi kurang signifikan. Harga rata-rata aluminium tahun ini dia prediksi berada di kisaran US$ 2.275 per ton.
Sekadar mengingatkan, Januari lalu, produsen aluminium terbesar ketiga di dunia, menurunkan produksi di semester I-2012 hingga 12%.
Rio Tinto Group, November 2011 lalu menyatakan akan menutup cabang di Lynemouth, Inggris, karena ongkos energi yang terus meningkat.
Perusahaan tambang raksasa tersebut juga berniat menjual 13 asetnya yang memproduksi aluminium untuk memoles kinerja keuangannya.
Ibrahim, Analis Senior Harvest International Futures, melontarkan analisis yang berbeda. Menurut dia, dalam jangka waktu pendek, harga aluminium berpeluang naik. Memang, melimpahnya produksi tanpa diimbangi kuatnya permintaan bisa menekan harga. Namun, menurut Ibrahim, sentimen pendongkrak harga komoditas industri tersebut lebih signifikan.
Ia mencontohkan, dari sisi suplai, faktor cuaca buruk bisa mengganggu produksi dan distribusi yang mayoritas memanfaatkan jalur laut. Sedangkan permintaan dari Asia terus meningkat. "Banyak negara tengah menggenjot sektor infrastruktur, termasuk produksi mobil maupun pesawat," ujar Ibrahim.
Spekulasi berlanjutnya program stimulus moneter Amerika Serikat (AS) akibat pernyataan Ben Bernanke, Gubernur The Federal Reserves, juga bisa mengangkat pamor komoditas industri, termasuk aluminium. "Jika quantitative easing tahap ketiga jadi dilaksanakan pada Juni, selama Maret-April ini harga aluminium masih dalam tren positif," jelas dia.
Hingga akhir Maret ini, Ibrahim memperkirakan harga aluminium masih berpotensi naik hingga kisaran US$2.180-US$ 2.210 per ton.
Apabila konflik politik di Timur Tengah, antara Iran dan Israel, semakin memanas, harga berbagai komoditas, termasuk aluminium, bisa melesat semakin cepat. "Bukan tidak mungkin, harga aluminium bisa melonjak hingga kisaran US$2.700 per ton," kata Ibrahim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News