Reporter: Rashif Usman | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menyalurkan stimulus ekonomi melalui program Bantuan Langsung Tunai Kesejahteraan Rakyat atau BLT Kesra senilai Rp 900.000 per keluarga yang berlangsung hingga akhir Desember 2025. Bantuan ini menyasar lebih dari 35 juta keluarga penerima manfaat (KPM).
Seiring dengan mendekati batas akhir penyaluran, Kementerian Sosial (Kemensos) mengimbau seluruh KPM agar segera mencairkan dana BLT Kesra sebelum 31 Desember 2025. Imbauan ini penting untuk memastikan penyaluran bantuan berjalan optimal serta mencegah dana yang tidak terserap kembali ke kas negara.
Head of Research KISI Sekuritas Muhammad Wafi menilai BLT rapel yang disalurkan ini hanya bersifat jangka pendek bagi emiten. Kebijakan ini berperan sebagai suntikan likuiditas instan terutama bagi emiten ritel.
Baca Juga: Chandra Data (CDIA) Akan Bagikan Dividen Interim Rp 1,34 Per Saham, Cek Jadwalnya
Menurutnya, dana yang diterima itu cenderung langsung berputar mengingat karakter penerima BLT yang memiliki tingkat konsumsi tinggi. Kondisi ini membantu percepatan penyerapan persediaan (inventory clearing) sekaligus berpotensi mendorong perbaikan kinerja same store sales growth (SSSG) pada Desember maupun kuartal IV. Kendati begitu, Wafi menilai BLT belum tentu mampu mengerek daya beli secara signifikan.
"Nilai BLT sebesar Rp 900.000 itu hanya menyambung nyawa di tengah inflasi, bukan duit lebih untuk belanja secara impulsif," kata Wafi kepada Kontan, Selasa (30/12/2025).
Konsumsi yang terjadi cenderung bersifat defensif, sekadar menahan penurunan daya beli agar tidak jatuh lebih dalam, bukan untuk mendorong pertumbuhan konsumsi yang bersifat struktural. Dampaknya pun relatif terbatas dan diperkirakan hanya terasa dalam jangka sangat pendek, sekitar satu hingga dua pekan.
Wafi juga bilang penyaluran BLT berpotensi paling cepat mengalir ke segmen minimarket dan kebutuhan pokok. Penerima BLT umumnya akan membelanjakan dana tersebut di jaringan ritel seperti AMRT dan MIDI untuk memenuhi kebutuhan dasar. Dengan nominal yang terbatas, alokasi belanja cenderung difokuskan pada komoditas staple seperti beras, mi instan, serta rokok.
Kondisi ini secara otomatis mendorong volume penjualan emiten produsen barang konsumsi dasar seperti ICBP, INDF, dan MYOR. Sebaliknya, dampak terhadap sektor ritel discretionary relatif terbatas, mengingat perbedaan segmen konsumen, sehingga emiten seperti MAPI dan ACES cenderung kurang terdorong oleh stimulus tersebut.
Baca Juga: IHSG Menguat Tipis di Akhir Perdagangan 2025, Awal 2026 Berpotensi Konsolidasi
Secara terpisah, Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Imam Gunadi berpendapat BLT tidak menciptakan konsumsi baru, melainkan berfungsi sebagai penjaga konsumsi minimum rumah tangga berpendapatan rendah. Dana BLT terutama digunakan untuk kebutuhan dasar seperti makanan, listrik, air, dan kebutuhan harian lainnya.
"Dalam konteks emiten konsumer, ini berarti BLT berperan sebagai penahan pelemahan penjualan, bukan sebagai katalis pertumbuhan permintaan," jelas Imam kepada Kontan, Selasa (30/12/2025).
Imam menambahkan efek BLT ke emiten konsumer dan ritel cenderung bersifat defensif, menjaga volume penjualan agar tidak turun tajam, terutama di segmen masyarakat bawah. Penyaluran BLT di tahap akhir dengan nilai rapel hingga Rp 900.000 berpotensi meningkatkan likuiditas jangka pendek rumah tangga, namun alokasinya cenderung langsung habis untuk konsumsi harian.
"Dengan demikian, dampak BLT lebih terasa pada stabilitas penjualan FMCG dan ritel kebutuhan pokok, bukan pada ekspansi margin atau peningkatan permintaan produk non-esensial," ucap Imam.
Imam juga menyampaikan bahwa BLT memang mampu menopang daya beli dalam jangka pendek, khususnya untuk konsumsi pangan dan kebutuhan dasar ketika tekanan biaya hidup masih ada. Namun, efek peningkatan daya beli tersebut bersifat sementara dan tidak berkelanjutan. BLT membantu rumah tangga memenuhi kebutuhan yang sempat tertunda, tetapi tidak meningkatkan pendapatan permanen maupun kemampuan belanja jangka panjang.
Dana rapel BLT yang relatif besar secara nominal pada akhir tahun lebih berfungsi sebagai penutup gap konsumsi, bukan sebagai pendorong belanja tambahan. Oleh karena itu, BLT kali ini dinilai cukup efektif menahan penurunan daya beli, tetapi belum cukup kuat untuk mengangkat daya beli masyarakat secara struktural, terutama untuk mendorong konsumsi barang non-pokok.
Berdasarkan pola penggunaan BLT, Imam menilai emiten yang paling berpotensi diuntungkan adalah emiten dengan produk berharga terjangkau, bersifat berulang, dan non-durable, antara lain, pertama, emiten FMCG kebutuhan pokok yang berpeluang menjaga stabilitas volume penjualan meski tanpa lonjakan margin, seperti PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP).
Kedua, emiten ritel yang menyasar segmen masyarakat bawah dan memiliki jaringan luas, seperti PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT). Emiten ritel ini relatif lebih diuntungkan dibanding ritel yang fokus pada konsumen menengah-atas.
Ketiga, emiten rokok. Menurut Imam, emiten di sektor ini menunjukkan sebagian dana BLT turut mengalir ke konsumsi rokok, mencerminkan bahwa produk tersebut masih dianggap sebagai kebutuhan oleh sebagian penerima BLT. Bagi emiten rokok, kondisi ini membantu menjaga volume penjualan di segmen bawah, khususnya untuk produk dengan harga terjangkau, seperti PT Wismilak Inti Makmur Tbk (WIIM).
Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Abdul Azis Setyo Wibowo, menyoroti masih maraknya penggunaan dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang tidak sepenuhnya dialokasikan untuk konsumsi. Kondisi tersebut berpotensi membuat pemulihan daya beli tidak optimal, sehingga dampaknya terhadap kinerja emiten sektor konsumer maupun ritel menjadi terbatas.
"Jika penggunaan BLT ini bisa mendorong daya beli maka akan membuat dampak signifikan terhadap emiten konsumer seperti JPFA, CPIN dan AYAM. Serta untuk emiten retail lebih cenderung pada AMRT," tutur Azis kepada Kontan, Selasa (30/12/2025).
Rekomendasi Saham
Azis saat ini merekomendasikan buy JPFA di target harga Rp 3.110 per saham dan saham AYAM di target harga Rp 600 per saham. Sementara Wafi menyarankan investor untuk memantau saham AMRT dan ICBP di target harga masing-masing Rp 3.200 dan Rp 13.200 per saham.
Adapun Imam merekomendasikan investor dan pelaku pasar untuk mencermati saham ICBP, AMRT dan WIIM dengan target harga masing-masing Rp 8.650, Rp 2.10 dan Rp 1.770 per saham.
Selanjutnya: Pemerintah Mau Impor Gula Industri 3,12 Juta Ton di 2026, APTRI: Itu Berlebihan
Menarik Dibaca: Jelang Pergantian Tahun, Bus dan Truk Logistik yang Menyebang ke Jawa Meningkat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













