Reporter: Dina Farisah | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Kecemasan pasar terhadap pelambatan ekonomi China menjegal laju harga minyak mentah dunia. Padahal, pekan lalu, harga minyak masih merangkak naik.
Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Maret 2014, Senin (20/1) pukul 15.40 WIB, turun 0,75% dari akhir pekan lalu, ke level US$ 93,88 per barel. Meski begitu, dalam sepekan terakhir, harga minyak masih menguat 2,03%.
Harga minyak melandai setelah Biro Statistik China melaporkan, pertumbuhan produksi pabrik di China per Desember 2013 sebesar 9,7%. Ini ekspansi paling lambat dalam lima bulan terakhir. Angka ini juga di bawah ekspektasi analis, yaitu mencapai 9,8%.
Alhasil, pasar cemas, permintaan minyak dari China bakal surut. Maklum, China merupakan negara kedua terbesar pengguna minyak.
Boleh dibilang, China adalah kunci dalam jangka pendek. "Sangat penting memperhatikan China. Saya pikir, permintaan akan berkurang dibanding Amerika Serikat dan Eropa," kata Robin Mills, Kepala Konsultan Manager Energy Consulting and Manajemen Proyek di Dubai, seperti dikutip Bloomberg.
Senior Research and Analyst Monex Investindo, Zulfirman Basir menilai, kekhawatiran terhadap sinyal pelambatan ekonomi China menjadi faktor utama penggerak harga minyak pada awal pekan ini.
Butuh katalis
Zulfirman menduga, koreksi harga minyak masih akan berlanjut dalam sepekan ini. "Namun, koreksi mulai terbatas," ungkap Zulfirman.
Pasalnya, pasar masih menanti serangkaian data ekonomi dari Eropa dan Inggris, yang diharapkan menunjukkan pemulihan di Eropa.
Analis SoeGee Futures, Nizar Hilmy menilai, harga minyak bergerak sideways dengan kecenderungan koreksi. Menurutnya, rilis data China yang mengecewakan menghadang laju harga minyak.
Padahal, pasca jatuh ke level US$ 91,0 per barel, harga minyak berhasil reli pada pekan lalu hingga menyentuh US$ 94,90 per barel. "Saat ini, minyak butuh katalis untuk bergerak naik. Jika tidak ada dorongan, minyak cenderung koreksi," prediksi Nizar.
Secara teknikal, pergerakan harga minyak masih mixed. Argumentasi ini tercermin dari harga yang berada di bawah moving average (MA) 50, MA 100, dan MA 200. Kondisi ini menandakan tekanan harga minyak masih terjadi.
Sementara, moving average convergence divergence (MACD) berada di area negatif, namun, sudah mulai bergerak naik. Indikator stochastic berada di level 66%, dan masih menanjak. Sementara, relative strength index (RSI) sideways di posisi 44%.
Nizar memprediksi, harga minyak dalam sepekan ini akan bergulir di US$ 92,00-US$ 94,50 per barel. Prediksi Zulfirman, harga minyak bakal bergerak antara US$ 91,50-US$ 94,90 per barel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News