Reporter: Ahmad Febrian, Asep Munazat Zatnika, Muhammad Yazid, Narita Indrastiti, Wuwun Nafsiah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Setahun Presiden Joko Widodo (Jokowi) duduk di kokpit negeri ini. Ibarat pesawat, Indonesia kini mengalami stall, kehilangan daya angkat akibat pelemahan ekonomi.
Kepercayaan investor yang awalnya membubung semakin tipis. Dus, harus ada gebrakan besar yang lebih riil untuk membangkitkan kembali kepercayaan pasar. Ketika Jokowi terpilih sebagai presiden dan Jusuf Kala sebagai wakil presiden Juli 2014, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat hampir 2%. Euforia ini berlanjut saat pelantikan presiden Oktober 2014.
Puncaknya, IHSG mencetak rekor tertinggi di 5.523 pada April 2015. Sejak Oktober 2014 hingga April itu, IHSG naik hampir 10%. Namun, sejak April hingga kini, IHSG merosot hampir 20%.
Sepanjang 2015, IHSG minus 14,23% dengan net sell investor asing Rp 11 triliun. Bagaimana dengan pasar yang selama sepekan menghijau? "Kalau teknikal wajar menguat karena oversold. Hati-hati dead cat bounce, dunia lagi enggak wajar," ujar manajer investasi asal Eropa ke KONTAN awal pekan ini.
Lucky Bayu Purnomo, Analis LBP Enterprises, bilang, memang ada faktor eksternal yang menekan kinerja pasar modal. Tapi, pemerintah tetap punya andil. Pemerintah terlambat mengantisipasi efek pelemahan ekonomi global.
Rupiah dibiarkan terpuruk yang berujung pada anjloknya laba bersih emiten. Belum lagi perombakan kabinet yang kurang oke, sehingga realisasi infrastruktur kian jauh dari target. Pesimisme pemerintah juga terlihat dari pemangkasan berbagai proyek dan target makro ekonomi.
"Ada hal yang direspons terlambat, sehingga daya beli masyarakat turun," ujar Lucky, Rabu (14/10).
David Sutyanto, Analis First Asia Capital melihat, Jokowi punya sejumlah prestasi yang tetap mendorong optimisme pasar. Misal, keberhasilan menekan inflasi. Lalu, subsidi bahan bakar minyak (BBM) dipangkas. "Ada peningkatan pendapatan dan fundamental lebih sehat," ujar David.
Namun menjadi rahasia umum Jokowi kurang pandai mengendalikan dinamika politik dan ekonomi. Manajer investasi Eropa itu menyoroti high speed train Jakarta-Bandung. "Itu tak feasible secara ekonomi," tegasnya.
Ia juga mengkritik rencana tax amnesty. "Ngasih tax amnesty, tapi kejar pajak pedagang kecil. Terkesan pajak mengejar target," cetusnya.
Menurut David, prestasi Jokowi tak terlalu buruk. Hanya, di awal masa kepemimpinannya, ekspektasi pasar sangat tinggi. Kini, pasar realistis menilai kinerja Jokowi.
Menurut Lucky, sejumlah paket ekonomi belum langsung memperbaiki ekonomi lokal. Saat ini yang terpenting adalah harmonisasi kebijakan dan realisasi. Pasar menantikan Jokowi bertindak cepat. Efek Jokowi ke kurs rupiah juga buruk.
Ketika Jokowi masih calon presiden, rupiah menguat ke Rp 12.400-an. "Waktu itu pasar dan para eksportir besar mulai jual dollar, mengantisipasi Jokowi menang. Ekspektasi ekonomi membaik dan kurs bisa ke Rp 10.000-Rp 10.500," terang tresuri bank Eropa di Singapura, ke KONTAN, kemarin.
Apa daya, setahun terakhir rupiah terdepresiasi lebih dari 7%. Ekonomi Indonesia yang tak kunjung membaik dan menteri kurang solid. "Target pemasukan negara tak tercapai. Harga komoditas jatuh serta kekhawatiran lesunya ekonomi AS dan China," ujar tresuri itu lagi.
Trian Fathria, Research and Analyst Divisi Treasuri BNI , melihat perekonomian memerlukan adaptasi dari pemerintahan lama ke pemerintahan baru. "Tahun 2015 adalah masa adaptasi," katanya.
Menurut manajer investasi Eropa tadi, pasar masih optimistis dengan Jokowi. Pemerintah harus bisa memenuhi harapan ini. Jangan sampai kepercayaan yang masih ada hilang. "Kuncinya, konsistensi dan realisasi kebijakan serta koordinasi," tegasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News