Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sulit berjaya di tahun ini. Beragam sentimen akan menyetir harga komoditas andalan Indonesia tersebut.
Research & Development ICDX Girta Yoga mengatakan bahwa berbagai sentimen bakal menggerakkan harga CPO di tahun 2023. Baik dari dalam negeri ataupun pengaruh yang berasal dari global.
Dari domestik, kebijakan Pemerintah Indonesia khususnya terkait ekspor CPO dan program B35 akan menguatkan harga dalam jangka pendek. Seperti diketahui bahwa Indonesia di tahun ini bakal menahan laju ekspor guna memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Baca Juga: Permintaan Lesu, Harga CPO Dalam Tren Menurun
Menteri Perdagangan Indonesia Zulkifli Hasan telah memerintahkan bagi produsen minyak goreng untuk meningkatkan produksi domestik guna memenuhi pemintaan lebih tinggi pada Lebaran. Kebijakan ekspor CPO juga bakal diperketat dengan menurunkan rasio ekspor menjadi 1:6 dari 1:8 guna mengantisipasi kenaikan konsumsi.
Tak hanya itu, penerapan B35 yang meningkatkan kandungan CPO menjadi sebesar 35% untuk bahan bakar biodiesel bakal menyedot pasokan. Meskipun penerapannya masih dalam tahap percobaan yang mulai pada 1 Februari 2023.
Girta menilai, kebijakan B35 memiliki efek yang positif terhadap harga CPO apabila melihat dari sisi fundamental. Adanya peningkatan dari B30 ke B35 tersebut artinya porsi CPO yang dibutuhkan juga turut meningkat.
Kebutuhan produksi B35 ini lebih dipusatkan untuk pasar dalam negeri, dengan kata lain, maka porsi CPO untuk pasar ekspor secara otomatis juga ikut berkurang. Tetapi, sejauh ini dampak penurunan pasokan CPO ke pasar global belum terasa.
Baca Juga: CPO Tersedot Biodiesel, Minyak Goreng Langka
Pasalnya, di saat yang bersamaan terjadi penurunan di sisi permintaan khususnya dari pasar Eropa yang merupakan importir CPO terbesar ketiga dunia setelah India dan China. Selain itu, China yang baru re-opening masih dalam tahap pemulihan ekonomi. Absennya permintaan dari negri tirai bambu tentu akan ikut mempengaruhi permintaan.
"Penurunan pasokan yang diimbangi dengan penurunan permintaan membuat gerak harga CPO meskipun dalam tren bearish, namun fluktuasinya masih dapat dikatakan cukup stabil," jelas Girta saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (2/2).
Dari faktor global diantaranya berasal dari kebijakan Pemerintah Malaysia untuk menyetop ekspor ke Eropa, Undang-Undang (UU) anti deforestasi Uni Eropa, rencana India untuk menyeragamkan pajak impor CPO dan minyak nabati lain, hingga perkembangan situasi ekonomi di China. Dan tidak kalah penting, harga CPO juga akan terantuk oleh situasi di pasar minyak nabati sebagai substitusinya.
Rendahnya permintaan dari negara importir CPO itu tidak mengimbangi produksi yang diperkirakan naik. Malaysia sebagai produsen terbesar kedua CPO dunia, produksinya akan meningkat menjadi 19 juta ton di tahun 2023.
Malaysia sendiri memilih porsi ekspor sebesar 85%, ini artinya pasokan CPO Malaysia tujuan ekspor adalah sekitar 16 juta ton.
Sementara, Indonesia sebagai produsen utama CPO diperkirakan bakal memproduksi sekitar 50,8 juta ton di tahun 2023, dengan asumsi terjadi penambahan kebutuhan CPO dalam negeri untuk program B35 sekitar 2,5 juta ton. Dari situ, kebutuhan domestik akan meningkat menjadi sekitar 20 juta ton, dan porsi CPO tujuan ekspor sekitar 30 juta ton.
"Dengan asumsi tersebut, maka jumlah CPO yang dipasok dari Indonesia dan Malaysia ke pasar global di tahun 2023 adalah sekitar 46 juta ton," kata Girta.
Baca Juga: Harga Minyak Goreng Mulai Naik Meski Permintaan Relatif Stabil
Hanya saja, kemungkinan besar akan terjadi penurunan permintaan dari tiga negara importir utama CPO yaitu India, China dan Uni Eropa. Impor oleh India berpotensi tergerus apabila rencana penyeragaman pajak impor terealisasi, saat ini pajak impor CPO di India sebesar 0%. Di China, konsumsi berpotensi melambat seiring dengan proses pemulihan ekonomi pasca Covid-19.
Sedangkan, Uni Eropa yang telah mengeluarkan UU anti deforestasi dapat dipastikan bisa membuat permintaan dari benua biru tersebut merosot. Uni Eropa telah memasukkan CPO dalam daftar komoditi penyebab deforestasi.
Hingga semester I-2023, harga CPO berpotensi bergerak pada level resistance di kisaran harga MYR 4.200 - MYR 4.400 per ton, dan untuk level support di kisaran harga MYR 3400-3200 per ton. Tetapi proyeksi ini pasti akan berubah seiring pergerakan pasar.
Mengutip Tradingeconomics pada Kamis (2/2) pukul 19.00 WIB, harga CPO berada di level MYR 3.753 per ton. Angka ini sudah anjlok 11,76% secara bulanan.
Baca Juga: Emiten Sawit Bakal Panen Berkah dari Program B35
Selanjutnya, sambung Girta, pada akhir tahun harga CPO diperkirakan turun. Hal tersebut seiring tren akhir tahun yang bertepatan dengan berlangsungnya musim dingin.
Kondisi musim dingin biasanya membuat negara importir mengurangi pembelian karena sifat CPO yang mudah membeku di suhu dingin. Umumnya, negara importir memilih untuk beralih menggunakan minyak nabati salah satunya minyak kedelai.
Namun, tren ini berpotensi terkoreksi apabila di saat yang sama, harga minyak nabati melonjak naik. "Sehingga memicu aksi ambil untung oleh negara importir dengan memanfaatkan gap harga tersebut. Kemudian membeli CPO untuk tujuan ditimbun," pungkas Girta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News