Reporter: Kornelis Pandu Wicaksono | Editor: Avanty Nurdiana
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) secara berturut-turut menaikkan bunga acuan (BI rate) dalam kurun waktu sebulan. Pada 29 Agustus, BI menggelar rapat dewan gubernur (RDG) dadakan dan menghasilkan keputusan menaikkan suku bunga acuan 0,5% menjadi 7%. Hanya 13 hari berselang, BI kembali menaikkan bunga acuan menjadi 7,25%.
Dengan demikian sejak Mei, suku bunga telah terkerek 150 basis poin. Kenaikan bunga acuan ini tentu berpengaruh pada kenaikan suku bunga kredit, terutama suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR). Bagi emiten properti, kondisi ini akan sangat mempengaruhi prospek kinerja.
Analis Batavia Prosperindo Sekuritas Steven Gunawan mengatakan, kenaikan suku bunga acuan akan berpengaruh negatif pada sektor properti secara keseluruhan.
Dus, secara umum, bisnis emiten properti bisa terhambat. Sebab, mayoritas pembeli membeli menggunakan KPR. "Bunga KPR yang terus melejit berpotensi memicu gagal bayar para pembelinya," ujar Steven.
Namun, dia menilai, beberapa emiten besar tidak akan terpengaruh oleh kenaikan suku bunga kredit di perbankan. Sebab, emiten seperti PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI), PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), PT Summarecon Agung Tbk (SMRA), dan PT Ciputra Development Tbk (CTRA), memiliki lebih banyak pembeli yang memakai kas daripada fasilitas KPR.
Sementara emiten yang memiliki porsi besar konsumen yang memakai fasilitas KPR, seperti PT Cowell Development Tbk (COWL), PT Laguna Cipta Griya Tbk (LCGP), dan PT Metropolitan Land Tbk (MTLA) akan lebih merasakan dampak kenaikan tingkat bunga.
Steven menambahkan, suku bunga tinggi bisa memicu pengembang menahan rencana ekspansi. Sebab, emiten akan menghitung ulang daya beli masyarakat. "Di samping itu, sumber pendanaan untuk membangun proyek juga semakin mahal," ujar dia. Apalagi, beban perusahaan juga semakin besar dengan kenaikan upah minimum provinsi, biaya operasional, dan lainnya.
Bahan baku naik
Masalah lain yang menurut analis AAA Sekuritas Maula Adini Putri cukup berpengaruh pada bisnis emiten properti adalah fluktuasi nilai tukar dollar AS terhadap rupiah. "Karena bahan baku emiten properti, sebagian besar masih impor. Jadi, harga properti bisa naik lagi," ujar dia.
Menurut Maula, sekarang harga properti sudah naik. Jika ditambah kondisi tersebut, maka konsumen akan berpikir dua kali untuk membeli properti. "Kenaikan harga bahan baku bisa juga menyebabkan proyek tidak jalan," ujar dia.
Padahal, menurut Steven, salah satu cara untuk menahan penurunan permintaan konsumen karena kenaikan suku bunga adalah menekan harga jual. "Risikonya margin emiten properti lebih tipis," ujar dia.
Emiten yang memiliki pendapatan berulang (recurring income) bisa lebih bertahan. Tapi, menurut Steven, margin recurring income biasanya lebih kecil. Emiten yang memiliki porsi recurring income, antara lain PT Intiland Development Tbk (DILD), PT Pakuwon Jati Tbk (PWON), PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR), dan PT Agung Podomoro Tbk (APLN).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News