Reporter: Namira Daufina, Wuwun Nafsiah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Rupiah semakin menuju sumur yang seolah tanpa dasar di hadapan dollar Amerika Serikat (AS). Surplus neraca perdagangan Indonesia periode Agustus 2015, belum kuat sebagai amunisi melawan dominasi mata uang Paman Sam.
Kemarin (15/9), di pasar spot, rupiah terpuruk ke Rp 14.408 per dollar AS, posisi terendah baru sejak tahun 1998. Sepanjang tahun ini, nilai rupiah tergerus 16,31%. Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai, sejatinya sentimen dari dalam negeri positif. Indonesia menorehkan surplus neraca perdagangan Agustus 2015 senilai US$ 433,8 juta. Meskipun, nilainya masih di bawah surplus bulan Juli, yaitu US$ 1,33 miliar. Lalu, nilai ekspor juga naik 10,79%, dan impor naik 21,69%.
Kabar baik lainnya, penjualan motor, mobil dan semen juga meningkat. Ini sinyal positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Apalagi, ada peningkatan impor bahan baku yang mengindikasikan proyek pembangunan sudah dimulai.
Sementara, Research and Analyst Divisi Tresuri Bank BNI Trian Fathria bilang, meski neraca perdagangan Agustus surplus, tapi tidak sebesar Juli. Surplus Agustus juga yang terendah sepanjang tahun ini. Ini menggerus keyakinan pasar terhadap rupiah. Di sisi lain, pelaku pasar fokus mengantisipasi pertemuan dewan moneter The Fed (FOMC meeting).
"Ketidakpastian kenaikan suku bunga The Fed membebani rupiah. Padahal, valuasi wajar rupiah saat ini Rp 13.900 per dollar AS," ujar David, Selasa (15/9).
Rully Arya Wisnubroto, Analis Pasar Uang Bank Mandiri, menilai, sulit menentukan arah rupiah di jangka pendek. Lebih menguntungkan bagi rupiah, jika Bank Sentral AS memastikan kenaikan suku bunga. "Ketidakpastian berlarut-larut memicu spekulasi panjang di pasar, sehingga merugikan rupiah," tuturnya.
Perkiraan Rully, Janet Yellen, Gubernur The Fed berkata bunga AS naik, rupiah bisa terseret ke Rp 14.500 per dollar AS. Tapi, setelah itu Bank Indonesia (BI) bisa lebih mudah menyesuaikan diri. David melihat, nasib rupiah bakal dipengaruhi pernyataan The Fed. Jika bunga naik AS optimistis atas ekonominya, kenaikan suku bunga selanjutnya bisa lebih cepat.
Ini negatif bagi rupiah, karena Indonesia perlu menyesuaikan diri terhadap pengetatan moneter di AS. Sebaliknya, jika suku bunga jadi naik tapi The Fed memandang target inflasi sulit dicapai, ini menjadi kesempatan bagi rupiah. Sebab, AS tak akan buru-buru mengerek lagi suku bunganya. "Ini kesempatan merealisasikan paket ekonomi. Jika banyak investor berinvestasi, bisa menopang rupiah," kata David.
Trian menilai, perlu lonjakan ekspor untuk memoles rupiah. Tapi, lesunya harga komoditas menyebabkan hal itu sulit terwujud dalam waktu dekat. Maka, perlu langkah gesit pemerintah memberikan daya tahan bagi rupiah. Seperti, merealisasikan belanja negara dan penerapan paket kebijakan ekonomi jilid I. "Sekalipun rupiah masih merosot, paling ke Rp 14.500," prediksi Trian.
Bila paket ekonomi tahap selanjutnya lebih komprehensif ia optimistis, rupiah bisa di Rp 14.300-Rp 14.500 pada pengujung tahun ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News