Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah emiten memiliki utang dalam mata uang dolar Amerika Serikat (AS). Suku bunga tinggi dan pelemahan nilai tukar rupiah bisa menjadi pemberat kinerja para emiten yang memiliki utang dalam dolar AS.
Melansir laporan keuangan, PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) punya utang obligasi sebesar US$ 300 juta atau setara dengan Rp 4,5 triliun per kuartal I 2023. PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) punya utang obligasi sebesar US$ 431,8 juta atau setara dengan Rp 6,5 triliun per semester I 2023.
PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) punya utang obligasi sebesar US$ 251 juta atau setara dengan Rp 3,78 triliun per kuartal I 2023.
PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) punya utang usaha dengan pihak berelasi dalam dolar AS yang jika disetarakan sama dengan Rp 12 miliar dan dengan pihak ketiga setara dengan Rp 1,4 triliun per kuartal I 2023.
PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) punya utang usaha sebesar US$ 18,4 juta per kuartal I 2023. Selain itu, ada juga utang bukan usaha sebesar US$ 16,3 juta dan utang jangka panjang US$ 2,75 miliar per kuartal I 2023.
Baca Juga: Tertekan Sentimen Eksternal, Rupiah Bergerak Melemah di Pekan Ini
Research Analyst Infovesta Kapital Advisori Arjun Ajwani mengatakan, kenaikan suku bunga AS atau bank sentral lainnya memang memicu peningkatan yield obligasi negara-negara tersebut.
Akhirnya, investor cenderung melepas sementara yield obligasi AS dan sedang memilih indeks dolar, sehingga dolar AS melanjutkan penguatan terhadap mata uang negara lainnya, termasuk di negara emerging markets.
“Hal itu bahkan sudah terjadi selama beberapa bulan ke belakang,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (28/7).
Kondisi tersebut tentu akan menjadi sentimen negatif bagi emiten yang mempunyai utang dalam dolar AS yang cukup besar atau sering bergantung terhadap utang asing dalam bentuk dolar AS.
Baca Juga: Performa Pasar Obligasi Indonesia Masih Positif pada Semester I
Di tengah depresiasi rupiah terhadap dolar AS, ada beberapa strategi hedging yang bisa dilakukan emiten untuk mitigasi atau mengurangi paparan mereka terhadap fluktuasi nilai tukar mata uang asing.
“Emiten bisa melakukan forward contracts beli atau jual futures/berjangka dalam bentuk mata uang yang mereka ingin hedge exposure,” paparnya.
Menurut Arjun, emiten yang sudah dari dulu antisipasi penguatan dolar AS terhadap rupiah pasti sudah melakukan hedging atawa lindung nilai.
Namun, Arjun tak menampik penguatan dolar AS terhadap rupiah tetap menjadi sentimen negatif untuk emiten yang sering ambil utang dalam dolar AS. Sebab, pendapatan para emiten ada dalam bentuk rupiah.
“Sehingga, saat hendak tukar mata uang ke dolar AS untuk membayar utang, para emiten perlu konversi lebih banyak rupiah untuk bayar utang fix tersebut,” ungkapnya.
Baca Juga: Loyo, Rupiah Jisdor Melemah ke Rp 15.083 Per Dolar AS Pada Jumat (28/7)
Arjun melihat, emiten yang bisnisnya bergantung terhadap suku bunga akan mendapat dampaknya paling negatif dari kondisi hari ini.
Akibatnya, emiten-emiten dari sektor bisnis tertentu bisa memiliki utang yang lebih tinggi akibat sentimen hari ini. Secara sektoral, emiten dari sektor properti, infrastruktur, dan teknologi.
“Emiten sektor lain yang identik dengan capital intensive atau debt intensive jelas juga mendapat dampak yang negatif terhadap suku bunga yang tinggi,” papar dia.
Menurut Arjun, jika fundamental emiten bagus, bisnisnya prospektif dalam waktu jangka panjang, serta valuasi sahamnya menarik, investor sebenarnya tidak perlu terlalu khawatir dari dampak fluktuasi mata uang ini.
“Kalau potensi pertumbuhan pendapatan emiten tersebut prospektif berdasarkan bisnis inti mereka, sebenarnya fluktuasi mata uang dalam waktu jangka pendek tidak terlalu penting,” tuturnya.
Baca Juga: Kurs Rupiah Jisdor Melemah 0,53% ke Rp 15.083 Per Dolar AS, Jumat (28/7)
Sebagai contoh, bisa saja ada emiten yang labanya turun pada kuartal mendatang karena dampak pergerakan nilai tukar yang tidak kondusif karena penguatan dolar AS dan pelemahan rupiah.
Namun, jika pendapatan dari bisnis inti laba emiten tersebut meningkat, itu bisa menjadi sinyal bahwa bisnis emiten tersebut masih kondusif.
“Ini dianggap sebagai risiko sistemik, bukan risiko dari bisnis emiten tersebut. Jadi, tetap saja outlook emitennya masih positif,” paparnya.
Arjun pun merekomendasikan beli untuk ICBP dan TLKM dengan target harga masing-masing Rp 11.800 per saham dan Rp 3.920 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News