kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45921,90   12,59   1.38%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sejumlah Emiten Ini Diuntungkan Kebijakan Implementasi Perdagangan Karbon


Selasa, 28 Februari 2023 / 05:40 WIB
Sejumlah Emiten Ini Diuntungkan Kebijakan Implementasi Perdagangan Karbon


Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Sejumlah emiten diproyeksi akan diuntungkan dari rencana Pemerintah Indonesia untuk menerapkan perdagangan karbon.

Analis Korea Investment and Sekuritas Indonesia Nicholas Kevin Mulyono mengatakan, ada beberapa emiten yang meraup untung dari skema perdagangan karbon. 

Pertama, di sektor energi baru terbarukan (EBT), PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) menjadi salah satu yang diuntungkan. 

Per enam bulan pertama 2022, PGEO telah mulai mencatat penjualan kredit karbon sebesar US$ 667.000 atau berkontribusi sebesar 0,36% terhadap pendapatan segmen energi.

Baca Juga: Dubes Jepang Kunjungi Pertamina Geothermal (PGEO), Kaji Pengembangan Hidrogen Hijau

Pembangkit listrik Lahendong Unit 5&6 milik PGEO dengan kapasitas 40 megawatt (MW) telah disertifikasi oleh Verified Carbon Standard (Verra), dan mampu menghasilkan pengurangan emisi sebesar 181.030 tCO2e setiap tahunnya.

Kedua, ada PT Barito Pacific Tbk (BRPT). Melalui Star Energy,  emiten besutan Prajogo Pangestu ini memiliki pembangkit listrik tenaga panas bumi terbesar di Indonesia dengan kapasitas 875 MW. 

 

BRPT menghasilkan US$ 3,3 juta dari penjualan kredit karbon, menyumbang 0,2% dari pendapatan energi per Sembilan bulan pertama 2022.

Salah satu pembangkitnya, Wayang Windu Phase 2 berkapasitas 117 MW terdaftar Clean Development Mechanism (CDM) dan Verified Carbon Standard (Verra).

Baca Juga: Kementerian ESDM Resmikan Perdagangan Karbon Subsektor Ketenagalistrikan

Pada tahun 2021, pembangkit listrik tersebut memproduksi dan menjual pengurangan emisi sebesar 378.221 tCO2e dengan harga US$ 0,95 per tCO2e.

Di sektor kehutanan dan tata guna lahan, ada dua emiten yang diuntungkan, yakni PT SLJ Global Tbk (SULI) dan PT Integra Indocabinet Tbk (WOOD) bisa mendapatkan keuntungan dari cadangan lahan yang cukup luas.

Nicholas menyebut, SULI memiliki konsesi kawasan hutan seluas 625.000 hektare (ha) dengan Perizinan Usaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), salah satu pemilik konsesi kawasan hutan terbesar di Indonesia. 

Sebelumnya, hutan tersebut digunakan untuk tujuan penebangan untuk memasok bisnis kayu lapis SULI. Akan tetapi, dengan perubahan izin menjadi PBPH, SULI dapat mendedikasikan seluruh kawasan hutannya untuk tujuan bisnis lain, termasuk proyek perdagangan karbon.

Sementara WOOD memiliki hutan seluas 18.000 ha yang didedikasikan untuk konservasi, dan hutan tropis seluas 160.000 ha untuk tujuan penebangan. 

WOOD adalah salah satu perusahaan pertama yang mengambil langkah awal untuk mendapatkan verifikasi dari Verra untuk konservasi hutan. Saat ini, sebagian besar konsesi hutan alam digunakan untuk tujuan penebangan.

Baca Juga: Perdagangan Karbon Mendapat Sambutan Positif Asosiasi Energi Terbarukan

Menurut Nicholas, WOOD perlu mengalokasikan sebagian dari 160.000 ha kawasan hutannya saat ini untuk didedikasikan untuk proyek karbon agar memiliki kontribusi yang cukup besar.

Secara umum, proyek kehutanan dan proyek tata guna lahan diwajibkan untuk memenuhi sustainable development goals atau tujuan pembangunan berkelanjutan, seperti meningkatkan kawasan terdegradasi, memberikan pendapatan dan pekerjaan bagi masyarakat lokal, hingga melindungi kawasan kritis bagi tanaman dan hewan. Hal ini menimbulkan biaya tambahan biaya.

“Akibatnya, harga kredit karbon yang berasal dari sektor kehutanan dan tata guna lahan cenderung dihargai lebih tinggi dibandingkan dengan proyek lain karena dianggap sebagai proyek yang berkualitas lebih tinggi,” tulis Nicholas dalam riset, Kamis (23/2).

Lalu, di proyek energi terbarukan, PT Kencana Energi Lestari Tbk (KEEN) dan PT Arkora Hydro Tbk (ARKO) akan diuntungkan dari adanya pembangkit listrik tenaga air. 

 

Harga saat ini untuk penggantian kerugian karbon dari proyek energi terbarukan berkisar sekitar US$ 1 sampai US$ 2 per ton CO2e, jauh lebih rendah dibandingkan dengan proyek kehutanan dan tata guna lahan.

Baca Juga: Perusahaan Pembangkit Listrik Mulai Jual Beli Karbon Tahun Ini

“Namun, biaya pengoperasian proyek energi terbarukan lebih kompetitif karena merupakan bagian dari operasi normal, tanpa perlu mengeluarkan biaya khusus,” sambung Nicolas.

Sementara itu, Analis Henan Putihrai Sekuritas Ezaridho Ibnutama menilai, PT Indika Energy Tbk (INDY) juga akan diuntungkan dengan adanya perdagangan karbon. 

INDY disebut telah melakukan perdagangan karbon menyusul targetnya untuk mengurangi karbon sebesar 550 Kton sampai 600 Kton emisi CO2 di bawah anak perusahaan, yakni Indika Multi Properti (IMP), dengan meningkatkan reklamasi lahan sebesar 20% pada tahun 2025.

Meskipun INDY berencana mengurangi eksposur ke batubara, Ezar menyebut tidak berarti INDY akan mengurangi volume produksi batubara mereka.

“Jadi, INDY bisa offset carbon footprint mereka dengan area konsesi yang sudah ditanami hutan mangrove untuk operasional mereka sendiri. Atau bisa memakai area konsesi mereka untuk perdagangan karbon,” kata Ezar kepada Kontan.co.id, Senin (27/2).

Selain INDY, PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO) juga sudah memulai penanaman hutan mangrove, yang sangat optimal untuk menyerap karbon dari udara. Sehingga, INDY dan ADRO bisa memakai area konsesi yang sudah ditanami sendiri untuk perdagangan karbon.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×