kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sederet Emiten Holding Getol Ekspansi ke Energi Hijau, Bagaimana Prospek Sahamnya?


Selasa, 19 Maret 2024 / 16:48 WIB
Sederet Emiten Holding Getol Ekspansi ke Energi Hijau, Bagaimana Prospek Sahamnya?
ILUSTRASI. Sederet emiten holding getol melakukan ekspansi dan diversifikasi ke bisnis energi hijau.


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sederet emiten holding getol melakukan ekspansi dan diversifikasi ke bisnis energi hijau atau Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Langkah ini dilakukan secara langsung melalui anak usaha maupun entitas bisnis terafiliasi. 

Sebagai contoh, ada Grup Astra dengan induknya, PT Astra International Tbk (ASII). Langkah ekspansi ASII ke energi hijau rajin dilakukan oleh anak usahanya, PT United Tractors Tbk (UNTR), yang beberapa kali melakukan akuisisi terhadap perusahaan listrik berbasis EBT. 

Aksi terbaru dilakukan pada 5 Maret 2024. UNTR lewat anak usahanya, PT Energia Prima Nusantara (EPN) menandatangani perjanjian jual-beli saham PT Supreme Energy Rantau Dedap senilai Rp 1,26 triliun. Masih dari segmen listrik hijau, EPN sebelumnya telah menggenggam 26,55% saham PT Arkora Hydro Tbk (ARKO), operator Pembangkit Listrik Mini Hydro (PLTM).

Grup Bakrie tak mau ketinggalan dalam melakukan transisi ke bisnis energi hijau. PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) tengah mempercepat pengembangan infrastruktur EBT. Segmen ini dikembangkan melalui anak usaha PT Bakrie Power, yakni PT Helio Synar Energi (Helio).

Baca Juga: Laba Bersih Barito Renewables Energy (BREN) Melonjak 17,88% di Tahun 2023

Setelah berhasil mengembangkan fasilitas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap di pabrik PT Braja Mukti Cakra (BMC), Helio akan segera membangun PLTS Atap di pabrik-pabrik dan fasilitas operasional lainnya di lingkungan Grup Bakrie dengan kapasitas yang lebih besar. 

Di segmen lainnya, BNBR melalui PT VKTR Teknologi Mobilitas Tbk (VKTR) menggeber industri kendaraan listrik alias Electric Vehicle (EV). VKTR melalui PT VKTR Sakti Industries di awal 2024 telah mulai melakukan groundbreaking pembangunan fasilitas kendaraan listrik komersil berbasis Completely Knock Down (CKD) pertama di Indonesia.

VKTR juga menjalin kerja sama strategis dengan membentuk perusahaan patungan atau joint venture dengan entitas Grup Salim. Yakni PT IMG Sejahtera Langgeng, anak usaha Indomobil Group untuk menggenjot adopsi EV di Indonesia.

Baca Juga: Hilirisasi Batubara Masih Menghadapi Sejumlah Kendala

Grup Barito milik taipan Prajogo Pangestu juga tancap gas di bidang ini. Dari sektor kelistrikan energi hijau, PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) menjadi salah satu pemain utama pengembang listrik panas bumi di Indonesia. 

Anak usaha PT Barito Pacific Tbk (BRPT) itu memiliki rencana ekspansi untuk mengejar target pengoperasian kapasitas sebesar 1.300

Megawatt (MW) pada tahun 2028. Target ini akan dicapai melalui pengembangan unit-unit baru di wilayah operasi panas bumi yang sudah ada, serta pengembangan kawasan greenfield di bidang energi panas bumi maupun tenaga angin.

Selain Grup Astra, Bakrie, dan Barito, sejumlah emiten batubara juga getol transisi ke energi hijau. Salah satu emiten yang dalam beberapa tahun terakhir rajin melakukan diversifikasi adalah PT Indika Energy Tbk (INDY).

Baca Juga: Dari BREN, KEEN, PGEO, Hingga ARKO, Cermati Rekomendasi Saham EBT Berikut Ini

Research Analyst Phintraco Sekuritas, Nurwachidah mengamati bisnis energi hijau punya prospek menarik sebagai sumber pertumbuhan jangka panjang, terutama dari sektor kelistrikan. Hal ini mengingat potensi besar tenaga listrik berbasis EBT yang ada di Indonesia. 

Apalagi tren dunia juga mengarah ke energi hijau, dimana kondisi ini disambut oleh komitmen transisi energi dari pemerintah. Alhasil, penggunaan EBT terus mengalami kenaikan untuk mengejar target bauran EBT 23% pada tahun 2025. Ruang pertumbuhan masih terbuka lebar, lantaran hingga tengah tahun lalu posisinya baru di level 14%.

Lebih jauh, Nurwachidah menyoroti kehadiran bursa karbon yang dapat menjadi akselerator upaya pengurangan emisi gas rumah kaca oleh perusahaan, supaya memperoleh carbon credit. "Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan transisi sumber energi listrik ke sumber EBT," ungkap Nurwachidah kepada Kontan.co.id, Senin (18/3).

Baca Juga: Mengail Momentum Rebound Saham EBT

Analis RHB Sekuritas Indonesia Muhammad Wafi mengamini sejauh ini ketenagalistrikan menjadi segmen yang paling matang secara operasional di dalam lingkup sektor energi hijau. Sementara segmen lainnya seperti EV masih perlu waktu untuk pengembangan pasar dan infrastruktur.

Meski begitu, Wafi menegaskan segmen bisnis listrik EBT pun masih perlu pengembangan lebih lanjut lantaran untuk saat ini sumber batubara masih mendominasi. Apalagi dengan masa cadangan batubara Indonesia yang masih cukup panjang.

"Bisnis energi hijau sebenarnya bisnis masa depan. Jadi prospeknya memang baru terlihat kurang lebih 5 tahun sampai 10 tahun ke depan. Kalau melihat potensi bisnis ke depan memang bagus," ungkap Wafi.

Secara bisnis, Nurwachidah turut mengamati bahwa kontribusi dari segmen EBT memang masih sangat mini, apalagi jika dibandingkan dengan porsi pendapatan dari emiten holding. Kontribusinya masih cenderung di bawah 1% dari total pendapatan.

Baca Juga: Menyaring Saham Emiten EBT yang Bisa Jadi Alternatif Saat Pasar Melandai

Head of Research Mega Capital Sekuritas (InvestasiKu) Cheril Tanuwijaya punya pandangan serupa. Dengan bisnis yang masih tergolong baru, kontribusi dari segmen energi hijau belum memberi pengaruh yang signifikan terhadap emiten induknya. 

Dus, prospek bisnis dan pergerakan saham emiten energi hijau pun lebih menarik untuk jangka panjang. Cheril pun menyarankan agar mencermati peluang cicil beli terhadap saham-saham yang secara valuasi masih menarik seperti INDY dengan target harga di Rp 1.600.

Sementara Wafi melihat saham ASII masih menarik sebagai pilihan investasi. Sedangkan Nurwachidah menyodorkan saham UNTR  dengan target harga Rp 25.000-Rp 25.975 dan stop loss di bawah level Rp 23.750 serta saham INDY dengan target harga Rp 1.600-Rp 1.650 dan stop loss di bawah level Rp 1.395.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×