Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. PT Schroder Investment Management Indonesia memandang optimis kondisi pasar saham dan obligasi domestik di bawah pemerintahan baru. Di samping itu, suku bunga rendah berpotensi menarik aliran dana asing ke Indonesia.
Dalam risetnya, Schroder Indonesia mengungkapkan bahwa pengumuman Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih telah direspons positif oleh pelaku pasar. Hal itu karena pasangan tersebut bakal melanjutkan kebijakan pemerintah Jokowi, sehingga mengurangi ketidakpastian.
Kebijakan yang diusulkan juga dipandang pro-pertumbuhan dan karenanya positif bagi pasar ekuitas. Meskipun aksi jual asing terjadi pada kuartal kedua 2024 imbas ketidakpastian global, IHSG berhasil bangkit kembali ke level tertinggi sepanjang masa pada bulan September didorong oleh arus masuk asing dan belanja lokal.
"Kami tetap optimis terhadap ekuitas dalam jangka panjang karena kami pikir ekuitas Indonesia sekarang diperdagangkan dengan valuasi yang layak pada 14x PE 2024 yang lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain seperti AS, Jepang, atau bahkan India," tulis Schoder Indonesia dalam riset, Rabu (16/10).
Baca Juga: Era Suku Bunga Rendah, Mirae Asset Sekuritas Targetkan IHSG di 7.915 pada Akhir 2024
Namun, laba perusahaan sejauh ini masih kurang bergairah. Jadi, meskipun pasar baru-baru ini mengalami reli, masih ada nilai dan nama yang harus dikejar di ekuitas Indonesia.
Hingga September 2024, IDX80 dan LQ45 masih tertinggal dari IHSG sekitar 7%-10% yang mengindikasikan bahwa banyak saham berkapitalisasi menengah hingga besar yang didorong oleh fundamental masih memiliki nilai naik.
Schroder Indonesia menilai bahwa pemilihan saham adalah kunci saat ini. Hasil laba perusahaan pada kuartal ketiga 2024 dapat menjadi katalis bagi pasar ekuitas karena laba berasal dari basis rendah terutama untuk saham terkait konsumen. Selain itu, Rupiah adalah kunci lainnya karena mata uang yang defensif dan stabil akan sangat dihargai oleh investor ekuitas.
"Setelah hasil laba semester pertama yang kurang menggembirakan, kami pikir kejutan positif apa pun dalam hasil kuartal ketiga tahun ini dapat mendukung pasar ekuitas secara keseluruhan dan kepercayaan investor," ujar Schoder.
Adapun pada bulan September, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan kinerja sebesar -1,86% MoM dengan aliran dana masuk asing sebesar Rp 22 triliun. Dana asing terus mengalir ke Indonesia dan menyebar tidak hanya di saham blue chip, bahkan ke nama-nama second tier di sektor konsumen.
Aliran dana masuk atau inflow pasar saham seiring pemangkasan suku bunga Bank Indonesia (BI) dan The Fed masing-masing sebesar 25 bps dan 50 bps.
Baca Juga: Mengenal Reksa Dana, dari Risiko, Jenis Produk, hingga Cara Membelinya
Namun, pasar saham berbalik turun memasuki paruh kedua September seiring dengan anjloknya beberapa harga saham yang menarik turun IHSG. Hal itu menyusul kabar mengenai perlambatan ekonomi AS, pemilihan umum AS, geopolitik yang semakin intens di Timur Tengah, dan pengumuman stimulus besar China.
Di pasar obligasi domestik sendiri, posisi bersih asing naik sebesar Rp 18,3 triliun dengan persentase kepemilikan investor asing meningkat dari 14,5% di awal bulan menjadi 14,7% per akhir September 2024. Arus masuk yang signifikan dari asing ke pasar obligasi lokal berkat suku bunga AS yang menguntungkan dan lingkungan dolar dalam tiga bulan terakhir.
Schroder mengatakan, BI akhirnya mampu menurunkan suku bunga sebesar 25bps menjadi 6,00% dalam pertemuan bulan September, sebuah keputusan yang diambil sehari sebelum FOMC. Reli Rupiah yang signifikan selama dua bulan terakhir membantu memberi BI keyakinan untuk melakukan pelonggaran.
Penawaran masuk cukup baik dalam lelang Rupiah, sementara pemerintah juga berhasil menerbitkan obligasi Euro senilai US$1,8 miliar dan € 750 juta di awal bulan. Book cover pada tranch dolar AS mencapai 2,2x. Hal ini menunjukkan ketahanan obligasi Indonesia di mata investor global.
Baca Juga: IHSG Naik 0,97% ke 7.723 di Sesi I Kamis (17/10), SMRG, INTP, BRIS Top Gainers LQ45
Penurunan suku bunga BI membantu melonggarkan suku bunga jangka pendek dan BI juga menurunkan kisaran yield lelang SRBI. Bersamaan dengan rencana pemangkasan suku bunga The Fed, pasar yakin bahwa BI akan melakukan pemangkasan lebih lanjut menyusul AS.
Dengan kondisi tersebut, Schoder mencermati bahwa reksa dana pasar uang yang berinvestasi pada obligasi dengan jatuh tempo kurang dari satu tahun tetap menguntungkan dibandingkan dengan suku bunga deposito.
Menurut pandangan Schoder Indonesia, fundamental Indonesia masih utuh, meskipun tidak menampik bahwa Indonesia berada dalam masa transisi yang dapat menimbulkan ketidakpastian terkait kebijakan dan dampaknya terhadap lintasan fiskal.
Kas di Kementerian Keuangan yang terkumpul selama beberapa tahun terakhir menawarkan penyangga dalam anggaran fiskal, namun perubahan drastis dalam pengeluaran dapat mengakibatkan penerbitan utang yang lebih tinggi.
Baca Juga: Kurs Rupiah Spot Menguat 0,02% ke Rp 15.507 Per Dolar AS, Kamis 17 Oktober 2024
Selain itu, obligasi jatuh tempo dalam jumlah besar pada tahun 2024 dan 2025 dikombinasikan dengan defisit yang lebih besar dapat membuat investor tetap waspada. Harga komoditas yang melemah dan prospek permintaan eksternal yang lebih lemah juga menimbulkan risiko terhadap neraca berjalan kita.
"Di sisi positifnya, inflasi masih terkendali masih dalam batas wajar dan dalam target BI 1,5-3,5%. Inflasi utama mulai turun dan inflasi inti juga tetap lemah yang seharusnya mendukung fundamental obligasi," tutur Schoder Indonesia.
Di sisi valuasi, IndoGB sepuluh tahun pada 6,44% secara langsung terlihat mahal karena mengalami reli substansial dalam tiga bulan terakhir. Secara relatif, imbal hasil tambahan 266bps terhadap imbal hasil UST sepuluh tahun tampaknya masih mahal karena rata-rata lima tahun berada pada kisaran yang jauh lebih luas pada 480bps.
Dalam jangka pendek, defisit fiskal Indonesia akan dipertahankan pada tingkat yang dapat dikelola seperti yang telah ditetapkan oleh pemerintahan saat ini. Namun perlu diwaspadai beberapa risiko utama diantaranya arah fiskal jangka menengah dalam pemerintahan baru Indonesia, ketegangan geopolitik, keberlanjutan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, serta politik dalam pemilu AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News