Reporter: Danielisa Putriadita | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah suku bunga Amerika Serikat yang baru saja naik sebesar 25 basis poin (bps), instrumen investasi berbasis saham bisa diandalkan untuk kinerja investasi yang lebih baik pada tahun depan.
Agustina Fitria Aryani, Financial Planner Head OneShildt Financial Planning mengatakan, yang terpenting dalam berinvestasi bukan hanya fokus pada perubahan pasar, melainkan profil risiko dan jangka waktu investasi.
"Perubahan Fed Funds Rate atau BI Rate jika memang dana investasi ditujukan untuk jangka panjang, kita tetap menyarankan masuk ke saham," kata Agustina, Jumat (15/12). Sementara bagi, investor pemula bisa mencoba masuk ke reksadana saham.
Agustina memprediksi pasar saham pada 2018 positif, dan memberi prospek yang lebih unggul dibanding instrumen investasi lainnya. "Suku bunga Indonesia sudah secara bertahap turun terus, kemungkinan di tahun depan penurunan suku bunga agak melandai, jadi kenaikan harga obligasi lebih stagnan," paparnya.
Namun, Agustina tetap menyarankan investor mengalokasikan sebagian investasi pada instrumen yang lebih aman seperti deposito untuk menjaga kestabilan dana investasi. "Deposito untuk mengamankan dana yang akan segera dipakai," katanya.
Meski demikian, mempertimbangkan profil risiko menjadi hal penting dan harus disesuaikan dengan instrumen investasi yang dipilih. Pada investor moderat cenderung konservatif maupun konservatif sebaiknya tidak masuk ke saham.
Berdasarkan profil risiko investasi, Agustina menyarakan investor konservatif mengalokasikan dana investasi 70% pada instrumen berbasis obligasi. Sedangkan, 15% bisa masuk ke saham. "Sisanya tetap banyak di cash, tabungan atau pasar uang," sarannya.
Sementara, bagi investor dengan profil risiko moderat, bisa menaikkan porsi kepemilikan di saham menjadi 50%, dan 35% pada obligasi atau reksadana pendapatan tetap. Sisanya tentu bisa ditaruh pada deposito.
Terakhir, bagi investor agresif porsi saham bisa dialokasikan sebesar 65%-75%. Sedangkan, porsi pada obligasi sekitar 20%.
Meski menyebut saham menjadi pilihan utama investasi di 2018, namun, Agustina tetap menyarankan investor untuk mendiversifikasi investasi. Menurutnya, emas bisa dijadikan salah satu kantong investasi lain untuk mendiversifikasi instrumen investasi.
"Emas lebih stabil pergerakannya, sama dengan inflasi Indonesia, cocok bagi investor moderat," kata Agustina. Sementara valuta asing juga dapat dipilih sebagai diversifikasi investasi bagi investor dengan profil risiko agresif.
"Kita tidak bisa hanya mengandalkan di satu instrumen investasi, meski prospek saham di 2018 bagus, tapi tak semua saham memberikan kinerja baik, makanya untuk mengcover hal tersebut, emas atau reksadana pasar uang bisa jadi pilihan diversifikasi investasi yang lebih stabil," imbuh Agustina.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News