kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.326.000 1,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Saham komoditas tak lagi bernas


Rabu, 08 Agustus 2012 / 13:36 WIB
Saham komoditas tak lagi bernas
ILUSTRASI. Ilustrasi depresi atau ketakutan


Sumber: KONTAN MINGGUAN 45 XVI 2012, Laporan Utama2 | Editor: Imanuel Alexander

Sektor komoditas tidak lagi menjadi lokomotif penggerak bursa. Pesonanya memudar seiring pelemahan permintaan yang menekan harga komoditasnya. Kini, masih adakah asa bagi sektor yang dulu pernah menjadi panglima di lantai bursa ini?

Hingga kini Indonesia masih tercatat sebagai negeri penghasil komoditas pertambangan dan perkebunan. Tidak sedikit emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang mengandalkan bisnis tambang dan perkebunan sebagai mesin pencetak uangnya. Namun, jika Anda berpikir sektor komoditas menjadi lokomotif bursa saham di Indonesia saat ini, berarti Anda keliru.

Data terakhir Bursa Efek Indonesia (BEI) menunjukkan angka yang menarik. Hingga akhir perdagangan Kamis pekan lalu (2/8), indeks sektor finansial atau dikenal dengan Jakarta Stock Exchange Finance Index (JAKFIN) menempati posisi jawara dengan bobot (weighting) 24,94% terhadap pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Posisi kedua dan ketiga berturut-turut diisi sektor infrastruktur dan consumer goods. Bobot kedua sektor tersebut bagi pergerakan IHSG masing-masing 14,10% dan 13,56%.

Lantas, di mana posisi indeks sektor tambang dan perkebunan? Ternyata masing-masing berada di posisi ke-6 dan posisi paling buncit, yakni ke-9.

Indeks sektor tambang alias Jakarta Stock Exchange Mining Index (JAKMINE) hanya menyumbang 9,17%. Sementara, sektor perkebunan atau Jakarta Stock Exchange Agriculture Index (JAKAGRI) menyumbang angka 3,43%.

Posisi indeks tambang hingga Kamis pekan lalu berada di level 2.003,63. Angka indeks susut 20,88% dari akhir tahun 2011 yang ada di posisi 2.532,38. Sekadar catatan, posisi JAKMINE pernah terjungkal hingga ke 1.877,63 pada 4 Juni lalu.

Patut dimaklumi, arah harga komoditas selalu mengekor pergerakan harga minyak sebagai pemimpin komoditas energi dunia. Pada akhir tahun lalu (30/12/2011), harga kontrak minyak di bursa NYMEX-Amerika Serikat masih anteng bertengger di level US$ 98,87 per barel. Namun, kini harganya sudah terpangkas di level US$ 87,13 per barel atau turun 11,87%.

Kepala Riset BNI Securities Norico Gaman bilang, indeks sektor tambang di Indonesia pernah menjadi komponen penting penggerak indeks di era tahun 2007–2008 saat harga komoditas tengah booming. Namun, kini, seiring pelemahan ekonomi global, permintaan energi turun mengakibatkan harga komoditas terseok-seok.

Dampak paling langsung dirasakan oleh emiten di sektor ini. Termasuk juga komoditas dari sektor perkebunan.

Dulu demam batubara

Menurut penilaian Kepala Riset Universal Broker Satrio Utomo, prospek sektor komoditas memang belum terlihat menarik. Bahkan, analis pun sulit untuk melihat, sampai ke level mana harga komoditas akan tertekan.

Satrio mengakui bahwa dalam tempo satu dasawarsa terakhir, komoditas batubara telah menjadi penggerak sentimen utama bursa. Maka, tidak heran, jika ada berita positif tentang bursa regional di periode itu, maka saham batubara akan masuk lebih dulu dalam daftar belanjaan investor. “Minat orang pada saham batubara sudah muncul sejak lebih dari 10 tahun lalu kala PT Bumi Modern berubah nama menjadi PT Bumi Resources Tbk (BUMI),” ungkap Satrio dalam salah satu tulisan di blognya akhir Juli lalu. Masuknya aset tambang batubara lewat skema backdoor listing di saham BUMI Modern pada tahun 1997–2000, menandai awal era masuknya pertambangan batubara di Bursa Efek Indonesia.

Ketertarikan pasar pada saham emiten batubara kian menjadi-jadi setelah pada kurun waktu 2002–2008, harga minyak di NYMEX melejit dari US$ 17–US$ 20 per barel hingga sempat menyentuh US$ 147 per barel. Batubara pun kecipratan berkahnya. Harganya ikut terkerek dari US$ 22–US$ 25 per ton menjadi US$ 192,5 per ton.

Saham BUMI, yang semula anteng di level Rp 25 per saham, sempat menikmati rekor harga tertinggi di posisi Rp 8.750 per saham, pertengahan 2008 silam. Pada periode itu, komoditas tambang menjadi raja.

Tapi, itu cerita masa lalu. Kini kondisi telah berubah. Krisis Eropa yang berkepanjangan dan perlambatan pemulihan ekonomi Amerika Serikat telah menjangkiti laju ekonomi China dan India. Di sisi lain, produsen batubara terus saja menggenjot produksinya dalam beberapa tahun terakhir. Suplai yang berlebih di saat permintaan komoditas melemah tentu saja menyeret harga komoditas ini semakin dalam.

Bagaimana prospek sesungguhnya? Mari kita bedah prospek sektor komoditas yang terbagi dalam kategori? hard commodity dan soft commodity.

Hard commodity

Masuk dalam kategori ini adalah minyak bumi, batubara, dan logam. Frederick Daniel Tanggela, analis Trimegah Securities, membeberkan sejumlah data yang mempengaruhi kondisi komoditas batubara akhir-akhir ini.

Frederick mengatakan, konsumsi batubara Amerika Serikat (AS) di semester pertama 2012 hanya sebanyak 910 juta ton. Angka ini turun hingga 4,3% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Padahal, Negeri Paman Sam tersebut adalah konsumen batubara dunia terbesar kedua setelah China.

Ada beberapa alasan mengapa konsumsi batubara di AS menurun. Pertama adalah musim dingin yang ringan alias tidak ekstrem. Selain itu, AS juga masih mengalami perlambatan ekonomi. Selanjutnya adalah penggunaan bahan bakar gas yang kian meningkat lantaran harganya murah .

Di sisi lain, ekspor batubara dari AS juga meningkat. Per Juni 2012, angkanya tercatat naik sekitar 31,3% menjadi 97 juta ton dari periode yang sama tahun 2011 lalu. Pasokan batubara di pasar dunia akan kian melimpah di tengah permintaan yang cenderung terus menurun.

Norico berpendapat, umumnya pada akhir tahun permintaan energi akan meningkat. Utamanya karena musim dingin
di belahan Eropa dan Amerika.

Selain itu, perusahaan-perusahaan juga akan mulai memesan bahan baku batubara menjelang kuartal IV 2012. “Jika melihat potensi ekonomi dunia akan membaik, mereka akan mulai memesan komoditas dan mengumpulkan bahan baku. Karena permintaan meningkat, diharapkan harga komoditas ikut terkerek,” ujar Norico.

Norico sendiri memberikan asumsi harga rata-rata minyak tahun ini ada di posisi US$ 95 per barel. “Kalau ada koreksi tak sampai di bawah US$ 80, jika melonjak rasanya tak akan lebih dari US$ 105 per barel,” tuturnya. Baru pada 2013, harga rata-rata batubara diperkirakan Norico berada di kisaran US$ 100 per barel.

Berangkat dari asumsi harga minyak ini, Norico menghitung, harga rata-rata batubara jenis thermal di bawah 6.000 kilo kalori (kkal) berkisar US$ 90 per ton. Dan, pada 2013 diharapkan harganya bisa lebih baik, di antara level US$ 96–US$ 97 per ton.
Berdasarkan data Bloomberg hingga perdagangan Kamis pekan lalu (2/8), harga batubara di bursa ICE Newcastle mencapai US$ 89,65 per ton. Jika dibandingkan dengan posisi akhir tahun 2011 yang US$ 111,4 per ton, angka tersebut sudah tergerus hingga 19,52%.

Menurut Fitch Ratings, sebagian emiten tambang di Indonesia terikat masa kontrak jual beli sekitar 1 tahun. Jika
pelemahan harga batubara berlangsung dari akhir tahun 2012 dan berlanjut ke 2013, kondisi ini akan membuat pelemahan harga perolehan emiten-emiten tersebut. “Negosiasi akan terjadi di kuartal IV dan kuartal I,” ujar Fitch Ratings seperti diberitakan Bloomberg.

Norico menyarankan, jika investor ingin membeli saham tambang karena sudah murah, tidak untuk trading. “Kita belum tahu dasar harga batubara sampai mana,” pesannya.

Jika ingin mengoleksi untuk jangka panjang, tak ada salahnya. Beberapa saham yang Norico cermati adalah PT Indo tambangraya Megah Tbk (ITMG), PT Tambang Bukit Asam Tbk (PTBA), dan PT Adaro Energy Tbk (ADRO).

Frederick tetap merekomendasikan beli beberapa saham tambang batubara, seperti PTBA dengan target harga
Rp 18.000, ADRO dengan target harga Rp 1.900, dan ITMG dengan target Rp 42.000. Tidak lupa, saham HRUM dengan target harga Rp 6.700 per saham.

Saham batubara unggulan Trimegah adalah PTBA. Alasannya, PTBA tidak memiliki utang dan margin earning before interest, taxes, depreciation, amortization (EBITDA) tinggi, yakni 37,9%.

Soft commodity

Berdasarkan pengumuman Kementerian Perkebunan dan Komoditas Malaysia, seperti diberitakan Bloomberg, Rabu (1/8), per Juni 2012, produksi minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) mereka diprediksi mencapai 10,6 juta ton. Angka ini naik 2,91% dari periode yang sama 2011 sebanyak 10,3 juta ton.

Analis Danareksa Sekuritas Gabriella Maureen Natasha menilai, di tengah situasi ekonomi yang suram, saham komoditas memang cenderung dihindari. Tapi, ia masih menyarankan investor membeli sejumlah saham yang masih berpotensi memperbaiki kinerjanya di 2013.

Setidaknya, ada dua faktor yang bisa menjadi katalis positif bagi sektor perkebunan. Pertama, membaiknya harga CPO. Sepanjang 2012, Gabriella memprediksi harga rata-rata CPO US$ 1.000 per ton dan di 2013 menjadi US$ 1.050 per ton.

Faktor kedua adalah datangnya badai El Nino. Tahun depan, badai El Nino diprediksi melanda banyak negara, di antaranya AS dan Indonesia. Jika terjadi El Nino, harga CPO bakal terungkit naik karena suplai nya yang terbatas.

Di luar kedua faktor tersebut, Gabriella menilai, kinerja emiten CPO tertekan lebih karena faktor eksternal, yakni krisis Eropa dan AS. Padahal, permintaan CPO masih tergolong stabil meski ada perlambatan di China dan India. Gabriella bilang, secara fundamental emiten CPO di lantai bursa masih sehat, namun kinerjanya terganggu lantaran harga jual CPO mengekor pada pasar spot global. “Padahal porsi ekspor seluruh emiten CPO di bursa kurang dari 10%. Sementara, permintaan domestik tetap stabil dan kuat,” ujarnya.

Gabriella bilang, emiten yang memiliki cadangan lahan (land bank) banyak dan tingkat produktivitas tinggi adalah PT BW Plantation Tbk (BWPT). Tingkat produksi tinggi itu kelak mendongkrak margin mereka, meski pendapatannya tertekan harga jual rata-rata yang rendah.

BW Plantation memiliki margin lebih tinggi ketimbang emiten CPO lain karena menggunakan sistem mekanis dalam melakukan operasionalnya. Mulai dari penyiraman hingga panen, BW Plantation menggunakan mesin. Inilah yang membuat ongkos produksi BW Plantation lebih rendah dan stabil.

Tak jauh berbeda, analis dari AAA Securities Andi Wibowo Gunawan menilai, emiten CPO bisa membukukan kinerja yang ciamik selama dapat menaikkan angka produksinya. Sebab, permintaan pasar terhadap produk sawit tak mengalami gangguan. Apalagi, CPO termasuk bahan baku kebutuhan primer. “Fundamental emiten CPO tetap menarik. Strateginya memang harus long term karena dalam jangka pendek masih tertekan harga jual yang rendah,” terang Andi.

Rekomendasi beli ia pertahankan bagi saham PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO). Andi optimistis, produksi CPO Sampoerna Agro hingga akhir 2012 naik 23% menjadi 426.000 ton. Kenaikan produksi inilah yang bisa menolong Sampoerna Agro dari harga perolehan rata-rata (ASP) yang masih melandai.

Terkait ASP, Andi juga optimistis, harga kacang kedelai yang melonjak akan memicu kenaikan harga CPO di pasar spot. Sebab, CPO adalah subtitusi dari minyak kedelai.

Nah, semua risiko telah dipaparkan. Kini terserah Anda, berani mengambil risiko bermain jangka panjang atau tidak.
Jadi, walau bukan lokomotif bursa, saham komoditas tetap layak dicermati, kan?

*** Sumber : KONTAN MINGGUAN 45 XVI 2012, Laporan Utama2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Berita Terkait



TERBARU
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×