Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Saham emiten berbasis teknologi menjadi primadona sepanjang 2021. Terbukti, emiten dengan return tertinggi menjadi jawara (top gainers) sepanjang tahun lalu. Saham-saham yang melesat hingga ribuan persen ini dimiliki oleh sejumlah konglomerat tanah air.
Di posisi pertama ada saham PT DCI Indonesia Tbk (DCII) yang sepanjang 2021 melejit hingga 10.370%. Ada nama besar Anthoni Salim, Bos Indofood, di tubuh saham yang bergerak di bidang penyediaan data center ini. Anthoni merupakan pemegang saham DCII dengan kepemilikan sebesar 11%.
Namun demikian, kinerja saham Grup Salim lainnya masih kurang menggigit. Ambil contoh saham PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) yang sepanjang tahun lalu terkoreksi 6,82%. Saham induk Indofood, yakni PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) juga terkoreksi 3,56% sepanjang 2021.
Saham pengelola gerai ritel Indomaret, yakni PT Indoritel Makmur Internasional Tbk (DNET) juga terkoreksi 6%. Ada pula saham PT Indomobil Sukses Internasional Tbk (IMAS) yang melorot 41,95% sepanjang tahun lalu.
Baca Juga: Chairul Tanjung, Anthoni Salim, Bukalapak, Traveloka, Bicara Soal Rights Issue BBHI
Di urutan kedua saham dengan kinerja terbaik dicatatkan oleh PT Allo Bank Tbk (BBHI), yang sepanjang tahun lalu melesat 4.386,66%. Ada nama besar taipan Chairul Tanjung dalam BBHI. Chairul Tanjung melalui PT CT Corpora (CT Corp/CTC) ikut dalam rights issue yang digelar BBHI.
CT Corp melaksanakan rights issue untuk 408,31 juta saham BBHI senilai Rp 195,18 miliar. Berdasarkan surat pernyataan kesanggupan dan ketersediaan dana dalam rangka rights issue BBHI, PT Mega Corpora (MC) selaku pemegang saham utama BBHI hanya melaksanakan sebagian haknya.
Saham emiten teknologi milik Grup Kresna juga berkinerja apik sepanjang tahun lalu. Saham PT Telefast Indonesia Tbk (TFAS) misalnya, naik 2.747,22%, saham PT Digital Mediatama Maxima Tbk (DMMX) naik 1.052,54%, dan saham PT NFC Indonesia Tbk (NFCX) naik 287,45% sepanjang tahun lalu.
Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal Universitas Indonesia Budi Frensidy menyebut, ada sejumlah faktor yang membuat saham-saham teknologi konglomerasi tersebut naik tinggi.
Pertama, banyaknya investor irasional yang melakukan praktik ikut-ikutan. Kedua, adanya segelintir investor yang terus membeli saham tersebut sehingga dapat menjaga harganya tidak turun.
Budi melihat, saat ini semua saham berbasis teknologi tersebut sudah relatif mahal. Hal ini karena price to book value (PBV)-nya sudah lebih dari 20 kali.
“Bahkan BBHI dan DCII sudah 90 kali sampai 106 kali,” terang Budi kepada Kontan.co.id, Minggu (9/1).
Baca Juga: Analis: Suntikan Modal Pengendali Bank Memberi Sentimen Positif ke Pasar
Dia menilai, tahun ini kenaikan harga saham teknologi akan cenderung terbatas. “Harga saham-saham teknologi saat ini saja sudah tidak masuk akal, sehingga semakin tidak masuk akal sehat jika masih bisa naik lagi,” sambung dia.
Budi melihat, saham-saham konglomerasi lain masih punya valuasi yang murah dan berpotensi menguat tahun ini. Sebut saja saham INDF milik grup Salim, saham PT Astra International Tbk (ASII) dan PT United Tractors Tbk (UNTR) milik grup Astra, dan PT Adaro Energy Tbk (ADRO) yang merupakan emiten terafiliasi grup Saratoga. Emiten-emiten ini memiliki PBV dengan rentang antara 1,2 kali sampai 1,4 kali.
Saham PT Astra Autoparts Tbk (AUTO) dan PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) PBV-nya bahkan masih sebesar 0,5 kali dan 0,9 kali. Selain itu, konglomerat dengan portofolio saham emiten tambang barubara dan kelapa sawit juga berpotensi semakin tebal kantongnya.
Sebab, saham emiten batubara dan sawit masih banyak yang memiliki valuasi murah, sehingga harganya masih bisa naik paling tidak di semester I-2022.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News