Reporter: Elisabet Lisa Listiani Putri, Nisa Dwiresya Putri | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah sudah mantap menetapkan harga batubara acuan (HBA) alokasi untuk pasar lokal atau domestic market obligation (DMO). Seiring dengan kebijakan itu, harga saham emiten batubara di Bursa Efek Indonesia bergerak volatil.
Indeks saham pertambangan di BEI kemarin menyusut 0,34%, seiring merosotnya sejumlah saham emiten batubara. Harga saham Bukit Asam (PTBA), misalnya, turun 4,44% ke Rp 2.800 per saham. Harga Harum Energy (HRUM) juga merosot 5,52% ke Rp 2.740 per saham.
Sebaliknya, harga Adaro Energy (ADRO) menguat 1,39% menjadi Rp 2.190 per saham. Sedang harga saham Indo Tambangraya Megah (ITMG) naik 1,32% menjadi Rp 26.900 per saham.
Isu harga batubara lokal memang turut menekan saham pertambangan. "Selama tiga hari, yakni 6 Maret hingga 8 Maret 2018, kapitalisasi pasar emiten batubara menyusut Rp 11,7 triliun," ungkap Tito Sulistio, Direktur Utama BEI kemarin.
Kabar teranyar, Kementerian ESDM menetapkan harga batubara DMO sebesar US$ 70 per ton untuk batubara yang memiliki kalori 6.322 kcal per kg. Sementara harga batubara DMO dengan kadar kalori rendah (low range) antara 4.200 kcal/kg hingga 5.700 kcal/kg akan lebih rendah lagi di bawah US$ 60 per ton.
Kepala Riset Koneksi Kapital Sekuritas Alfred Nainggolan menilai, poin utama kecemasan pasar bukan lagi soal besaran harga acuan batubara lokal yang ditetapkan. Namun, pasar menunggu transparansi perhitungan harga tersebut dan detail kebijakan lainnya. "Harus ada informasi ke publik soal latar belakang penetapan harga. Di sini ada kepentingan PLN juga. Karena itu, PLN harus transparan soal biaya produksinya," ujar dia, kemarin.
Belakangan ini, pergerakan harga batubara di pasar spot cukup fluktuatif mengikuti permintaan global. Harga batubara Newcastle sempat menembus US$ 100 per metrik ton. Nah, pemerintah menetapkan harga batubara DMO di saat harga pasar sedang tinggi. Ketika harga batubara sewaktu-waktu turun, pemerintah harus berupaya agar produsen batubara tetap bisa menikmati margin penjualan.
Jika transparansi dan detail kebijakan harga batubara DMO tak dibuka ke publik, Alfred melihat potensi volatilitas harga saham emiten batubara semakin tinggi dan berlanjut. "Sekarang tingkat ketidakpastian semakin tinggi," tambah Alfred.
Namun secara umum dia menilai kebijakan DMO tidak akan menimbulkan potensi kerugian bagi emiten produsen batubara. Hanya saja, potensi pertumbuhan margin keuntungan produsen batubara menjadi terbatas.
Secara sektoral, saham pertambangan masih prospektif. Khusus batubara, Alfred optimistis permintaan masih aman, seiring membaiknya perekonomian global. Ia memprediksi harga batubara di 2018 berada di rentang US$ 90–US$ 110 per ton.
Di saham pertambangan, Alfred memprediksi rata-rata return emiten bisa mencapai 25%–30% pada tahun ini. Dia pun menjagokan saham ADRO.
Head of LOTS Lotus Sekuritas Krishna Dwi Setiawan sepakat, adanya penetapan harga DMO batubara bisa membuat emiten batubara tak bisa menikmati keuntungan lebih. Karena itu, besaran harga DMO batubara tetap menjadi perhatian pasar.
Krishna melihat, pelaku pasar cemas jika harga yang ditetapkan adalah US$ 60 per ton. "Jika batas atas US$ 70 per ton cukup oke," ungkap dia.
Dengan regulasi ini, Krishna memprediksi produsen batubara berkalori rendah yang paling banyak terpengaruh. Sebab, PLN lebih banyak membutuhkan batubara berkalori rendah.
Dari beberapa saham batubara, dia menjagokan saham ITMG lantaran banyak melakukan ekspor. Saat ini, Krishna merekomendasikan buy on weakness ITMG dengan target jangka menengah Rp 28.000 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News