Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Nilai tukar rupiah terus melemah seiring konflik Timur Tengah yang memanas dan solidnya dolar Amerika Serikat (AS). Dari dalam negeri, euforia dimulainya pemerintahan baru perlahan memudar.
Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures Nanang Wahyudin mengamati, tekanan eksternal telah memicu aksi jual di pasar Surat Utang Negara (SUN) dan menyeret rupiah ke level paling lemah dalam dua bulan terakhir.
Sekedar mengingkutkan, rupiah ditutup melemah 0,49% ke posisi Rp 15.724 per dolar AS, seiring dengan meningkatnya tensi politik di Timur Tengah. Sedangkan, rupiah Jisdor melemah sekitar 0,50% ke Rp 15.729 per dolar AS.
Aset-aset yang dinilai lebih berisiko seperti mata uang emerging market (EM), termasuk rupiah, juga surat utang serta saham, ditinggalkan karena investor memitigasi memburuknya situasi pasar di pekan padat ini.
Pada saat yang sama, perkembangan politik baru di Jepang, serta kondisi kelesuan ekonomi Tiongkok yang semakin menyeret kinerja korporasi di sana, membuat aset-aset emerging market Asia semakin tidak memiliki taji yang ampuh.
Baca Juga: Rupiah Spot Ditutup Melemah ke Rp 15.724 Per Dolar AS Pada Hari Ini (28/10)
"Meningkatnya risiko geopolitik membuat investor cenderung menghindari aset berisiko dan mengalihkan dana ke instrumen yang lebih aman,” jelas Nanang kepada Kontan.co.id, Senin (28/10).
Kabar mengenai serangan udara Israel ke Iran membuat pasar mencemaskan makin besarnya aksi penyerangan nantinya karena serangan balasan. Banyaknya korban sipil dan perluasan area konflik membuat pelaku pasar memilih memburu dolar.
Di satu sisi, Nanang menyoroti bahwa perburuan dolar AS di pekan ini akan dibayangi oleh serangkaian data ekonomi penting, di antaranya data ketenagakerjaan seperti JOLTS, ADP EMployment Change dan Non Farm Payroll (NFP). Semua data tersebut diproyeksikan bakal melambat.
Terlihat pelaku pasar melakukan aksi antisipasi dengan menguatnya indeks dolar dan bertahan di atas 104. Sementara rupiah sedang dihadapkan pada penembusan area resisten Rp 15.700, maka ruang pelemahan lanjutan bisa kembali ke Rp 15.820.
Nanang menilai, euforia kabinet baru tidak mampu menopang rupiah lebih lama untuk menguat. Pasar kini tengah mempertimbangkan langkah-langkah kebijakan fiskal dan moneter pemerintahan yang baru di tengah situasi global yang tidak menentu.
Pada hari terakhir pekan ini, Jumat (1/11), S&P Global akan merilis PMI Manufaktur Indonesia bulan Oktober. Data ini menjadi penting karena untuk melihat kondisi aktivitas manufaktur di Indonesia, apakah sudah membaik atau tidak.
Sebelumnya pada September 2024, PMI Manufaktur Indonesia berada di angka 49.2. Hal ini menandai penurunan aktivitas pabrik selama tiga bulan berturut-turut, dengan output dan pesanan baru sama-sama menurun untuk bulan ketiga berturut-turut.
Selain itu, pesanan luar negeri menyusut dengan laju tertinggi sejak November 2022, turun untuk bulan ketujuh. Perusahaan merespons dengan mengurangi aktivitas pembelian, lebih memilih untuk memanfaatkan inventaris yang ada. Di sisi lain, lapangan kerja tumbuh untuk pertama kalinya dalam tiga bulan.
Nanang menambahkan, angka inflasi Indonesia dijadwalkan rilis pada akhir pekan ini. Badan Pusat Statistik (BPS) juga akan merilis data Indeks Harga Konsumen (IHK) periode Oktober 2024.
Baca Juga: Dibayangi Konflik Timur Tengah, Rupiah Diperkirakan Lanjut Melemah Selasa (29/10)
Adapun IHK Indonesia pada September 2024 tampak tumbuh 1,84% yoy. Tingkat inflasi ini merupakan yang terendah sejak November 2021 dan tetap berada dalam rentang target bank sentral sebesar 1.5% hingga 3.5% untuk periode 2024.
Dengan berbagai sentimen ekstenal maupun internal tersebut, Nanang memproyeksi, rupiah masih akan bergerak melemah. Nilai tukar rupiah berpotensi berada di level Rp 15.680 – Rp 15.800 per dolar AS di perdagangan Selasa (28/10).
"Ke depan, rupiah masih akan dibayangi sentimen eksternal, terutama perkembangan situasi di Timur Tengah dan data-data ekonomi AS yang dapat mempengaruhi arah kebijakan The Fed. Dengan tetap mempertimbangkan potensi pemilu di Amerika pada 5 November mendatang," pungkas Nanang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News