kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Rupiah melemah lagi, untung apa buntung?


Rabu, 04 Desember 2013 / 16:51 WIB
Rupiah melemah lagi, untung apa buntung?
ILUSTRASI. Jambu air merah membantu menjaga kesehatan jantung.


Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Asnil Amri

JAKARTA. Rupiah kembali melemah setelah sempat menguat kemarin (3/12). Bank Indonesia (BI) pada Rabu (4/12) tercatat 11.960 per dolar Amerika Serikat (AS). Pada Selasa (3/12) kemarin, kurs tengah rupiah di level Rp 11.830 per dolar AS.

Managing Director of Global Markets HSBC Indonesia Ali Setiawan bilang, level rupiah saat ini sesuai dengan fundamental ekonomi Indonesia. Pelemahan rupiah, akan membantu efektivitas pengurangan impor, guna mempersempit celah defisit neraca transaksi berjalan alias current account deficit.

Ali bilang, level nilai tukar rupiah saat ini bergerak sesuai dengan kebutuhan pasar. Menurutnya, level nilai tukar ini merupakan langkah intervensi terakhir bank sentral untuk melihat level nilai tukar rupiah yang sebenarnya.

"Bank Indonesia melihat rupiah sekarang sesuai dengan fundamental ekonomi dan bisa membantu untuk kurangi impor. Karena jika misalnya rupiah tetap bertengger di bawah Rp 10.000 per dollar AS, maka impor pun akan semakin kencang atau kuat, sehingga defisit akan terus membengkak," ujar Ali di Jakarta, Rabu (4/12).

Ali menjelaskan, nilai tukar rupiah saat ini selain bisa mengerem laju impor, juga akan membantu meningkatkan ekspor. Melemahnya nilai tukar rupiah, menurut Ali, dinikmati oleh eksportir. Namun begitu, pelemahan rupiah tidak serta merta mampu mendongkrak capaian nilai ekspor Indonesia.

Hal ini lantaran, hampir 70% dari produk ekspor Indonesia berasal dari sektor komoditi, dimana permintaan terbesar datang dari China. Yang perlu diwaspadai, lanjut Ali, adalah makin sedikitnya permintaan ekspor komoditas dari negara tirai bambu tersebut.

"Ekspor komoditas seperti kelapa sawit dan batu bara belum ada perkembangan. Permintaan dari negara importir komoditi yaitu China, semakin sedikit, karena mereka sekarang fokus untuk mengurangi kadar polusi. Forecast harga kelapa sawit diprediksi juga akan turun. Ini tentu akan berdampak pada ekspor kita," jelas Ali.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×